KETIK, BLITAR – Polemik pengelolaan aset milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) kembali mengemuka di Kota Blitar. Dugaan praktik penyewaan ulang atau subleasing lahan milik KAI Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun di kawasan Jalan Mastrip menimbulkan pertanyaan besar mengenai konsistensi pengawasan perusahaan pelat merah tersebut.
Lahan yang semestinya hanya dikelola oleh pihak penyewa resmi, disebut-sebut justru dialihkan lagi kepada pihak ketiga. Praktik ini dinilai berpotensi melanggar perjanjian dan membuka celah kerugian negara.
Kecurigaan publik menguat setelah salah satu pengelola lahan, Adi Wijaya alias Sikok, secara terbuka mengakui bahwa sebagian tanah yang ia gunakan memang disewakan kembali kepada pihak lain.
“Saya jujur saja, memang ada sebagian lahan yang saya sewakan lagi. Tidak mungkin saya sendiri yang memanfaatkan semua. Setahu saya juga tidak masalah, karena praktik ini sudah berlangsung sejak lama,” ujarnya saat dihubungi wartawan beberapa waktu lalu.
Pernyataan ini sontak memicu kontroversi. Di satu sisi, ia menegaskan ketidaktahuannya terkait aturan larangan subleasing. Namun, di sisi lain, pengakuan tersebut seakan membenarkan dugaan praktik penyalahgunaan aset negara yang sudah berjalan bertahun-tahun.
Berbeda dengan Sikok, pihak penyewa utama justru membantah keras tudingan adanya penyewaan ulang. Titik, pemilik PT Maju Mapan perusahaan yang menandatangani kontrak resmi dengan KAI menyebut tuduhan itu tidak berdasar.
“Kami tidak pernah melanggar kontrak. Semua aktivitas kami dilakukan sesuai aturan dan sepengetahuan KAI. Kalau ada yang bilang kami melakukan subleasing, itu tidak benar,” tegasnya singkat.
Menanggapi polemik tersebut, Manajer Humas PT KAI Daop 7 Madiun, Rokhmad Makin Zainul, menegaskan bahwa status lahan tidak bisa dialihkan begitu saja.
“Aset yang dimanfaatkan pihak ketiga tetap milik negara. Tidak boleh ada peralihan hak tanpa persetujuan tertulis dari KAI. Klausul larangan subleasing jelas dan mengikat secara hukum,” ujarnya, Senin, 11 Agustus 2025.
Rokhmad juga menekankan, bila terbukti ada pelanggaran kontrak, konsekuensinya bisa berat, mulai dari pemutusan kerja sama, pengembalian lahan, hingga langkah hukum.
“KAI secara rutin melakukan pengecekan. Jika ada praktik yang menyalahi aturan, pasti kami tindak,” tambahnya.
Dari sisi regulasi, pakar hukum menilai praktik penyewaan ulang aset negara tanpa izin tidak bisa dipandang enteng. Menurutnya, ada dasar hukum yang jelas mengatur larangan ini.
“UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN sudah menegaskan larangan peralihan aset tanpa mekanisme resmi. Jika praktik subleasing terbukti merugikan keuangan negara, itu bisa masuk ke ranah tindak pidana korupsi, sesuai Pasal 2 dan 3 UU Tipikor,” ujarnya, meminta identitasnya tidak dipublikasikan.
Namun, pernyataan tegas KAI tak serta-merta menenangkan publik. Pemerhati kebijakan publik asal Blitar, Sapto Santoso, justru menilai KAI selama ini kurang serius menindak praktik yang sudah berlangsung lama.
“Kalau KAI benar-benar rutin melakukan pengecekan, mengapa praktik ini bisa dibiarkan sejak 2016? Pernyataan mereka tegas di atas kertas, tapi realitasnya berbeda. Masyarakat wajar menilai KAI cenderung menutup mata,” kata Sapto, Minggu 17 Agustus 2025.
Menurutnya, yang dibutuhkan bukan sekadar retorika, melainkan langkah nyata.
“Transparansi adalah kunci. Publik berhak tahu sejauh mana KAI menjaga aset negara agar tidak dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak,” pungkasnya.(*)