KETIK, MALUKU UTARA – Di sebuah stadion tua yang menghadap laut Maluku Utara, riuh dan gelisah bertemu dalam satu panggung.
Stadion Gelora Kieraha, yang pernah menjadi benteng kebanggaan Persiter Ternate, kini kembali ramai. Bukan semata karena laga sepak bola, melainkan karena perebutan status kepemilikan yang mengancam denyut baru sepak bola di jazirah Maluku Utara.
Dalam pusaran polemik itu, suara seorang pegiat sepak bola muncul jernih. Risno Tess, Sekretaris Persihalsel (Perserikatan Sepak bola Indonesia Halmahera Selatan), berbicara dengan nada sederhana namun tegas.
“Selamatkan Gelora Kieraha, selamatkan sepak bola Maluku Utara.” tulis Noris sapaan akrab Risno Tess dalam rilis Rabu, 20 Agustus 2025.
Bagi Noris, Gelora Kie Raha lebih dari sekadar bangunan beton dan hamparan rumput hijau. Menurut dia, itu adalah simbol kolektif, tempat di mana ribuan orang pernah menyanyikan yel Persiter, di mana air mata harapan dan kebanggaan tumpah bersamaan. Stadion ini pernah menjadi titik temu, mengikat Ternate, Tidore, Bacan, hingga Morotai dalam satu bahasa universal yakni sepak bola.
Noris bilang, ketika Persiter perlahan tenggelam dari panggung nasional, stadion itu ikut kehilangan napas. Tribunnya berdebu, rumputnya kering, dan sorak-sorai berubah jadi sunyi. Hingga hadirnya Malut United, klub baru yang menyulut kembali gairah lama.
Lanjut Noris, dalam waktu singkat, stadion yang dulu kusam itu dipoles ulang menjadi megah, berkelas, dan layak bersaing di kancah nasional. Kehadirannya bukan hanya menghidupkan sepak bola, tapi juga membangkitkan kembali identitas Maluku Utara di peta olahraga Indonesia.
“Malut United datang seperti obat bagi kerinduan panjang masyarakat. Stadion kembali hidup, anak-anak bisa bermimpi lagi, dan kita merasa punya kebanggaan baru,” ungkap Noris.
Namun ia mengutarakan gairah itu mendadak terancam. Di mana Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat mengklaim Stadion Gelora Kieraha masih bagian dari aset mereka, warisan sebelum pemekaran wilayah dan Pemerintah Kota Ternate membantah tegas klaim tersebut.
Menurutnya, perselisihan administratif ini berubah menjadi momok ketika manajemen Malut United menyatakan akan mencari markas di luar Maluku Utara jika polemik tidak segera diselesaikan. Noris nyatakan, ancaman itu membuat masyarakat resah, seolah harapan yang baru tumbuh kembali harus layu sebelum mekar.
“Bayangkan, setelah bertahun-tahun kita haus, segelas air sudah di tangan. Tapi sebelum diminum, tiba-tiba ada yang merebutnya. Begitulah rasanya bagi kami pecinta bola,” tuturnya.
Ironisnya, secara hukum persoalan ini sejatinya tak perlu terjadi. Untuk itu, Noris menjabarkan aturan terkait kepemilikan aset tersebut:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemekaran Daerah menegaskan, seluruh aset kabupaten induk yang berada di wilayah kabupaten/kota baru wajib diserahkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 memperkuat aturan itu: Pasal 24 mewajibkan pengalihan aset, sementara Pasal 33 memberikan tenggat maksimal lima tahun pasca peresmian daerah baru.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2001 bahkan lebih lugas: semua barang milik daerah yang terletak di wilayah pemekaran otomatis menjadi milik daerah baru, termasuk tanah, bangunan, hingga dokumen administrasi.
"Kalau kita bicara aturan, Jelas bahwa, benar secara administrasi aset tersebut pernah tercatat sebagai aset milik Kabupaten Induk Maluku Utara, namun ketentuan telah mengatur peralihan aset pasca Undang-undang Pemekaran dan ketentuan lainnya yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat"
"Jadi saya rasa Pemkab Halmahera Barat hanya ingin menata administrasi asetnya. Tapi jangan sampai administrasi membunuh semangat masyarakat" tegas Noris.
Ia menuturkan, bagi masyarakat Maluku Utara, Gelora Kieraha bukanlah sebatas aset. Ia adalah ruang persaudaraan, tempat mimpi-mimpi lahir, dan simbol identitas yang mengatasi batas-batas geografis.
“Di stadion ini, orang Bacan bisa duduk berdampingan dengan orang Tidore. Suporter dari Morotai bisa bersorak bersama orang Ternate. Gelora Kieraha adalah rumah bersama, bukan milik satu daerah saja,” kata Noris.
Pria yang juga ikut serta mengangkat nama Persihalsel ke kanca nasional ini memberi pertanyaan ke publik sembari menegaskan polimik dan bola panas seutuhnya ada di tangan pemerintah. Apakah Kota Ternate dan Halmahera Barat mampu duduk bersama, menuntaskan polemik ini dengan kepala dingin, atau justru membiarkan perselisihan merampas harapan publik?
“Jangan biarkan stadion ini jadi sumber perpecahan. Duduklah bersama, bicara dengan bijak. Karena jika Malut United pergi, yang hilang bukan hanya stadion, tapi juga harapan ribuan anak muda di Maluku Utara,” pesan Risno, sekaligus seruan dari seorang pecinta bola yang percaya sepak bola lebih besar daripada ego sektoral.