Pernyataan Bupati Situbondo Yusuf Rio Wahyu Prayogo, yang akrab disapa Mas Rio, soal pandangannya terhadap LSM dan pers, memang benar-benar menohok. Mungkin tidak salah, tapi menurut pandangan saya juga tidak sepenuhnya benar.
Tidak salah, karena memang tidak sedikit oknum LSM dan oknum wartawan, melaksanakan fungsi kontrolnya dengan ugal-ugalan. Menggebu-gebu di awal, namun letoy di belakang. Semangat menulisnya sangat hebat, tapi ujung-ujungnya 'take down' atau tulisannya tidak lagi dapat ditemukan.
Tidak sepenuhnya benar, karena kekuasaanlah yang sejatinya memberi peluang pada oknum tersebut. Peluang itu diberi ketika mereka (kekuasaan) melakukan "kesalahan". Mungkin Mas Bupati bisa lurus, namun belum tentu dengan jajarannya.
Bisa jadi Bupati ingin main bersih, tapi belum tentu kepala dinas, kabid, camat dan staf-stafnya di posisi yang diraih dengan perjuangan dan pengorbanan, hanya ingin duduk manis tanpa keinginan mendapat keuntungan (baca; korupsi, gratifikasi, dan nepotisme).
Apalagi mereka yang sudah keluar uang banyak dalam kontestasi. Adalah bisa dipahami jika ingin modalnya kembali. Ini bukan hanya soal jabatan, tapi bagaimana juga menyediakan kebutuhan untuk menyelesaikan hutang-hutang politik juga kegiatan-kegiatan pimpinan.
Kesalahan-kesalahan inilah yang kemudian dibaca oleh oknum LSM dan pers. Apalagi kalau ada dikotomi pers pendopo dan pers non pendopo (jika benar).
Pers pendopo kerap dianggap sebagai kalangan media yang disebut-sebut mendapat dukungan fasilitas dari APBD. Dalam praktiknya, mereka lebih difokuskan untuk meliput kegiatan-kegiatan seremonial pemerintah, seperti peluncuran program UMKM dan acara sejenisnya, dengan kecenderungan menghindari pemberitaan yang bersifat kritis.
Sebaliknya, kalangan pers di luar lingkaran pendopo cenderung menjaga jarak dari aliran dukungan APBD. Hal ini secara tidak langsung mendorong mereka untuk menjalankan fungsi kontrol sosial secara lebih ketat. Namun, dinamika ini tak jarang memantik emosi bagi sejumlah pihak.
Jadi menurut saya, dua kutub ini sudah bagus. Satu sisi tugasnya pencitraan, di sisi lain ada yang mengontrol. Sudah jamak ada yang memuji dan ada yang menguji. Yang penting sediakan ruang untuk konfirmasi. Pers harus melakukan konfirmasi, dan kekuasaan mau dikonfirmasi karena jika tidak akan menjadi tirani.
Bagaimana dengan LSM? Nyaris sama tapi tidak serupa dengan pers. Beberapa di antaranya mungkin ujung-ujungnya uang yang sebagian harus dipahami sebagai memenuhi kebutuhan hidup. Saya lebih suka menyebutnya sebagai oknum. Lainnya mungkin benar-benar melakukan fungsinya sebagai LSM. Yang terakhir ini ada tapi mungkin tidak banyak. (*)
*) Rizki Pristiwanto adalah Pengamat Sosial
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)