Permahi: Negara Belum Hadir Total Tangani Dampak Banjir Aceh

22 Desember 2025 12:20 22 Des 2025 12:20

Thumbnail Permahi: Negara Belum Hadir Total Tangani Dampak Banjir Aceh
Ketua Permahi Rifqi Maulana menunjukkan tumpukan kayu yang memenuhi kawasan Pesantren Darul Mukhlisin, Aceh Tamiang. (Foto: Zaelani Bako/Ketik.com)

KETIK, ACEH SINGKIL – Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi), Rifqi Maulana, menilai negara belum hadir secara utuh dalam menangani dampak banjir besar yang melanda wilayah Aceh dan Sumatera. 

Permahi mendesak pemerintah pusat tidak bersikap setengah hati dalam pemulihan pascabencana, terutama bagi masyarakat yang terdampak langsung.

“Negara harus hadir di saat kritis. Pemerintah pusat jangan hanya bisa berbisnis dengan rakyat Aceh dan mengeruk hasil alamnya,” kata Rifqi, Senin, 22 Desember 2025.

Menurut Rifqi, banjir yang melanda Aceh bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan berkaitan erat dengan krisis ekologi akibat eksploitasi sumber daya alam yang masif. Ia menyinggung praktik pembalakan liar serta pemberian izin perkebunan sawit yang dinilai tidak terkendali.

“Ini tanah kami, tanah nenek moyang kami. Kerusakan yang terjadi hari ini bukan tanpa sebab. Ada tangan-tangan kotor yang merusak lingkungan,” ujarnya.

Rifqi menekankan perlunya pemulihan total bagi warga terdampak, mulai dari perbaikan rumah yang rusak parah hingga pembangunan kembali infrastruktur publik. Ia menyebut penanganan yang parsial justru memperpanjang penderitaan masyarakat.

“Ini bukan sekadar bencana. Yang dibutuhkan adalah pemulihan total rumah warga, infrastruktur, dan lingkungan hidup,” tegasnya.

Rifqi juga mengkritik kebijakan pemerintah yang menolak sejumlah bantuan internasional untuk Aceh. Menurutnya, dalam situasi darurat, seharusnya negara membuka ruang bantuan seluas-luasnya demi kepentingan rakyat.

“Bantuan internasional ditolak, bantuan yang masuk malah dipajaki. Jangan buat rakyat Aceh seperti ini. Pemerintah seharusnya melindungi dan membantu rakyatnya,” ujarnya.

Hingga hampir satu bulan pascabanjir, Rifqi menyebut masih banyak persoalan yang belum tertangani. Di Kabupaten Aceh Tamiang, misalnya, gelondongan kayu masih ditemukan menumpuk di sekitar kawasan Pesantren Darul Mukhlisin. Kondisi ini menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan terhadap kerusakan lingkungan.

“Ini krisis ekologi akibat illegal logging dan eksploitasi yang rakus. Suara rakyat harus didengar. Pemerintah tidak boleh menutup mata,” kata Rifqi.

Permahi akan terus mendorong pengawalan hukum dan advokasi lingkungan agar penanganan bencana di Aceh tidak berhenti pada bantuan darurat, tetapi menyentuh akar persoalan kerusakan alam dan kebijakan yang merugikan masyarakat. (*) 

Tombol Google News

Tags:

Permahi Aceh Aceh Tamiang Banjir Aceh sumatera banjir