Pergantian Menteri Keuangan dan Pelajaran dari Zaman Keemasan Islam

14 September 2025 08:45 14 Sep 2025 08:45

Thumbnail Pergantian Menteri Keuangan dan Pelajaran dari Zaman Keemasan Islam
Oleh: Ahmad Ghozali Fadli*

Pengelolaan keuangan negara selalu menjadi perhatian publik. Ia bukan sekadar soal angka-angka dalam APBN, melainkan juga menyangkut kepercayaan, keadilan, dan arah pembangunan bangsa.

Baru-baru ini Indonesia menyaksikan pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa.

Pergantian ini menimbulkan perbincangan hangat: akankah kebijakan keuangan tetap berorientasi pada stabilitas, atau justru berani melaju untuk mengejar pertumbuhan?

Dalam sejarah, kita mengenal bahwa cara sebuah bangsa mengelola keuangannya mencerminkan nilai dasar yang dianut. Di era modern, pengelolaan keuangan ditandai oleh globalisasi, digitalisasi, dan instrumen pasar yang kompleks.

Sementara itu, pada masa keemasan Islam, pengelolaan keuangan berlandaskan amanah, distribusi yang adil, dan orientasi spiritual. Perbandingan ini memberi kaca pembesar untuk membaca dinamika pergantian menteri keuangan di Indonesia.

Nilai Dasar

Keuangan modern cenderung berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas fiskal. Menteri sebelumnya, Sri Mulyani, dikenal menekankan disiplin anggaran, menjaga defisit, dan memperkuat reformasi pajak.

Di sisi lain, Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan akan melanjutkan fondasi yang sudah ada, sembari memberi akselerasi agar pertumbuhan ekonomi bisa lebih cepat.

Berbeda dengan itu, pengelolaan keuangan pada masa kejayaan Islam bukan sekadar tentang pertumbuhan. Harta dipandang sebagai amanah dari Allah, yang penggunaannya harus memberi kemaslahatan bagi banyak orang.

Zakat, infak, dan wakaf menjadi instrumen utama agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan elite.

Firman Allah dalam QS. Al-Hasyr: 7 menegaskan: “…agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”

Pelajaran pentingnya, apa pun orientasi kebijakan keuangan—apakah menjaga stabilitas atau mengejar pertumbuhan—pada akhirnya harus diuji sejauh mana ia memberi manfaat kepada rakyat luas.

Transparansi

Dalam praktik kontemporer, transparansi keuangan dijaga melalui regulasi, audit, dan sistem digital. Indonesia telah membangun infrastruktur pengawasan yang lebih rapi, meski praktik penyalahgunaan anggaran masih sering terjadi.

Pada masa keemasan Islam, transparansi dijaga melalui nilai amanah yang kuat. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, menolak menggunakan lampu minyak Baitul Mal ketika membicarakan urusan keluarga, karena khawatir mencampuradukkan kepentingan publik dan pribadi.

Kita tentu tidak bisa mengandalkan moralitas personal semata di era modern yang kompleks. Namun, pergantian menteri keuangan bisa menjadi momentum memperkuat integritas kelembagaan: menggabungkan sistem regulasi yang ketat dengan dorongan etika pelayanan publik.

Distribusi Kekayaan

Kesenjangan ekonomi masih menjadi tantangan serius. Meski pertumbuhan ekonomi tercatat positif, jurang antara kaya dan miskin tetap lebar. Kritik publik kerap muncul saat bantuan sosial dianggap tidak tepat sasaran, atau ketika elite politik menerima fasilitas berlebih.

Dalam sejarah Islam, instrumen seperti zakat dan wakaf memainkan peran penting meratakan kesejahteraan. Zakat diwajibkan, sementara wakaf dipelihara untuk membiayai pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur publik. Akibatnya, pada beberapa periode, hampir tidak ditemukan mustahik zakat karena distribusi berjalan efektif.

Kebijakan fiskal Indonesia tentu berbeda konteks, tetapi prinsipnya serupa: bagaimana APBN bisa lebih menyentuh rakyat bawah, terutama melalui belanja sosial, subsidi produktif, dan dukungan terhadap UMKM. Menteri baru memiliki ruang untuk menguji sejauh mana kebijakan ekspansif dapat diimbangi dengan keadilan distribusi.

Digitalisasi

Perkembangan keuangan digital membuka peluang sekaligus risiko. Fintech, e-wallet, dan blockchain memudahkan transaksi, tetapi juga menimbulkan tantangan pengawasan. Pemerintah Indonesia telah berusaha mengintegrasikan teknologi ini dalam sistem perpajakan dan belanja negara.

Pada masa keemasan Islam, instrumen digital tentu belum ada. Namun, prinsip efisiensi dan ketepatan distribusi sudah dijalankan melalui lembaga Baitul Mal. Perbedaan konteks ini menunjukkan bahwa teknologi hanyalah alat. Yang menentukan adalah nilai dasar yang mengarahkan penggunaannya: apakah untuk mempercepat keadilan, atau sekadar memperbesar keuntungan segelintir pihak.

Menatap ke Depan

Pergantian Menteri Keuangan tidak perlu dipandang sebagai pertarungan antara dua pendekatan. Sri Mulyani telah meninggalkan warisan berupa disiplin fiskal dan kredibilitas di mata internasional. Purbaya kini membawa mandat untuk mempercepat pertumbuhan dengan tetap menjaga kepercayaan.

Seperti masa keemasan Islam, kunci keberhasilan pengelolaan keuangan bukan terletak pada siapa yang memimpin, melainkan pada fondasi nilai yang mendasarinya: amanah, transparansi, dan distribusi yang adil. Jika nilai itu bisa dihidupkan kembali dalam konteks modern, maka kebijakan fiskal—baik yang berorientasi pada stabilitas maupun pertumbuhan—akan lebih berpihak pada rakyat.

Perbandingan antara pengelolaan keuangan zaman modern dan masa keemasan Islam memberi kita pelajaran penting. Modernitas menawarkan teknologi dan instrumen canggih, sementara sejarah Islam mengingatkan tentang etika dan amanah. Pergantian Menteri Keuangan Indonesia menjadi momentum untuk menggabungkan keduanya: memperkuat sistem, menjaga stabilitas, mendorong pertumbuhan, dan memastikan kesejahteraan dirasakan merata.

Pada akhirnya, keuangan negara bukan sekadar urusan angka, melainkan soal nurani. Sejarah telah membuktikan: ketika pengelolaan harta disandarkan pada nilai keadilan dan amanah, kemakmuran bukan hanya mimpi, melainkan kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. (*)

*) KH. Ahmad Ghozali Fadli adalah Rois Syuriah MWC NU Wonosalam Jombang sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Alquran Wonosalam Jombang

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi. (*)

Tombol Google News

Tags:

Ahmad Ghozali Fadli Menteri Keuangan Sri Mulyani Purbaya Yudhi Sadewa Keuangan Negara