KETIK, BLITAR – Suara keluhan warga terhadap layanan BPJS Kesehatan di Blitar Raya terus bergema. Dari desa hingga kota, dari ruang tunggu puskesmas hingga ruang gawat darurat rumah sakit, keluhannya serupa: birokrasi panjang, pelayanan lamban, dan wajah dingin aparatur yang lebih lihai menagih daripada melayani.
“BPJS ini kayaknya cuma ingat kami waktu nagih iuran,” kata Andy, salah satu warga Blitar, kepada Ketik.com, Senin pekan ini.
Ia bercerita tentang ibunya yang harus menunggu hampir dua jam di puskesmas hanya untuk mendapatkan rujukan ke rumah sakit. “Kalau giliran sakit, disuruh nunggu, disuruh urus rujukan, disuruh sabar. Padahal sakit gak bisa nunggu,” ujarnya lirih.
Kemarahan publik di Blitar tak berhenti di ruang tunggu pasien. Ia menjalar ke balai desa dan ruang-ruang diskusi masyarakat.
Tugas Nanggolo Yudo Dili Prasetiono, Wakil Ketua Persaudaraan Kepala Desa Indonesia (PKDI) Kabupaten Blitar yang akrab disapa Bagas menilai sistem dan pelayanan BPJS Kesehatan kini telah kehilangan arah.
“Regulasinya kacau, pelayanannya buruk. Kalau seperti ini terus, sebaiknya BPJS Kesehatan dibubarkan saja,” ujarnya tegas saat ditemui Ketik.com di Blitar, Selasa, 4 November 2025.
Bagas menyebut, banyak warga desa yang harus berputar-putar dari satu fasilitas kesehatan ke fasilitas lain hanya untuk mendapat perawatan dasar. Bahkan, kata dia, ada kasus warga meninggal dunia setelah ditolak oleh rumah sakit karena tidak membawa surat rujukan.
“Ini bukan masalah kartu aktif atau tidak, ini soal kemanusiaan,” ujarnya, dengan suara meninggi.
Dihadapkan pada gelombang kritik itu, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Kediri yang menaungi wilayah Blitar Raya, Tutus Novita Dewi, memilih merespons dengan nada normatif.
Dalam pernyataannya kepada media, Tutus menyebut kunci pelayanan yang lancar terletak pada kepatuhan peserta terhadap prosedur dan kewajiban membayar iuran.
“Kuncinya kartu aktif. Ikuti prosedurnya, nikmati manfaatnya, dan jangan lupa bayar iuran tepat waktu. Kalau tidak bayar, otomatis kartunya tidak aktif,” kata Tutus.
Namun kepada Ketik.com, Tutus mencoba memperjelas maksudnya. Ia menegaskan, BPJS Kesehatan tak punya kewenangan medis langsung. “Kami hanya mengatur jaminan pembiayaan, bukan pelaksanaan medis,” katanya.
Menurutnya, untuk kasus gawat darurat, rumah sakit tetap wajib memberikan tindakan terlebih dahulu sebelum verifikasi administrasi dilakukan.
Kekecewaan warga Blitar Raya kini telah berubah menjadi bentuk perlawanan moral. Para kepala desa dan aktivis sosial menyerukan agar BPJS Kesehatan Cabang Kediri turun langsung meninjau fasilitas kesehatan di lapangan.
Mereka juga mendesak pemerintah pusat melakukan evaluasi total terhadap sistem rujukan dan prosedur darurat.
“Cukup sudah rakyat disuruh sabar. Kami menunggu tindakan nyata, bukan lagi slogan prosedural,” ujar Bagas menutup pernyataannya.
Bagi sebagian warga, BPJS Kesehatan kini bukan lagi simbol perlindungan sosial, melainkan wajah baru dari birokrasi yang membebani.
“BPJS sekarang lebih mirip debt collector dengan seragam kesehatan. Cepat menagih, tapi lambat melayani,” kata Bagas, menyindir tajam.
Fenomena di Blitar hanyalah satu fragmen dari krisis kepercayaan yang lebih besar terhadap sistem jaminan sosial di Indonesia. Dalam banyak kasus, peserta yang terlambat membayar iuran langsung diblokir aksesnya. Sementara keluhan tentang pelayanan sering berakhir di meja pengaduan tanpa tindak lanjut jelas.
Bagi warga seperti Andy, yang hanya ingin melihat ibunya sembuh tanpa harus berdebat soal kartu dan rujukan, janji “jaminan kesehatan semesta” terasa semakin jauh dari kenyataan.(*)
