KETIK, SLEMAN – Tingginya angka putus obat akibat lamanya durasi terapi dan efek samping yang berat menjadi tantangan utama dalam penanganan kasus Tuberkulosis Resistan Obat (TB RO). Dalam upaya konkret mengatasi persoalan ini, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sleman melalui Tim Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) menggelar Sarasehan Kesehatan yang secara khusus ditujukan untuk pasien TB R0.
Humas RSUD Sleman dalam keterangannya Jumat 30 Oktober 2025 menyebutkan, acara yang dilaksanakan di Ruang Tunggu Klinik TB RSUD Sleman belum lama ini dirancang untuk menciptakan ruang dukungan moral dan edukasi yang intensif. Kegiatan ini bertujuan ganda: meningkatkan pemahaman pasien terhadap pentingnya pengobatan, sekaligus memupuk kembali semangat mereka yang sering kali meredup di tengah proses terapi yang panjang.
dr Bheti Yuliana Fitrianingsih, Sp.P, dokter spesialis paru RSUD Sleman, tampil sebagai narasumber utama. Dalam sesi bertema “Motivasi Minum Obat pada Pasien TB”. Ia menjelaskan secara rinci mekanisme kerja obat serta dampak fatal dari pengobatan yang terhenti.
"Pengobatan TB RO membutuhkan waktu yang panjang, bisa mencapai 18 hingga 24 bulan, dan memang memiliki efek samping yang tidak ringan. Namun, perlu digarisbawahi, kunci utama kesembuhan pasien TB adalah ketekunan. Disiplin dan semangat yang konsisten sangat menentukan. Jika pasien tidak disiplin dan berhenti minum obat, kuman TB bisa menjadi semakin resistan, dan peluang sembuh akan sangat menurun. Ini adalah perjuangan yang harus dimenangkan oleh setiap pasien," tegas dr Bheti.
Peran Dukungan Komunitas dan Keluarga
Kasus TB RO tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga membebani mental pasien. Efek samping obat yang menyebabkan mual, pusing, bahkan gangguan psikologis, seringkali membuat pasien berada di titik jenuh dan rentan mengambil keputusan untuk berhenti berobat. Sarasehan ini pun dioptimalkan sebagai wadah peer support yang efektif.
Seorang pasien, sebut saja Rahmat (55), yang telah menjalani pengobatan selama sepuluh bulan, berbagi pengalamannya.
"Awalnya saya merasa sendiri, malu, dan ingin menyerah. Obatnya banyak sekali, rasanya mual setiap hari. Tapi, setelah sering bertemu dengan pasien lain di klinik dan ikut acara seperti ini, saya sadar bahwa saya tidak berjuang sendirian. Kisah mereka membuat saya malu jika harus berhenti," ungkapnya haru, merujuk pada kekuatan dukungan komunitas.
Pihak PKRS RSUD Sleman menjelaskan, interaksi semacam ini sangat krusial. Pasien tidak hanya mendapatkan informasi klinis, tetapi juga dukungan emosional dari sesama pejuang TB RO yang memahami betul tantangan yang dihadapi.Mereka berharap, dukungan dari nakes, keluarga, dan sesama pasien dapat menjadi energi baru bagi mereka untuk menjaga kepatuhan minum obat hingga benar-benar tuntas.
Selain itu RSUD Sleman juga terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya deteksi dini dan pengendalian TB demi memutus rantai penularan dan mencegah kasus resistansi obat baru. (*)
