Mbak Suci dan Partisipasi Rakyat di Desa

24 Oktober 2025 17:04 24 Okt 2025 17:04

Thumbnail Mbak Suci dan Partisipasi Rakyat di Desa
Oleh: Nurani Soyomukti*

Masyarakat dunia internet (netizen) telah diramaikan oleh kemunculan Mbak Suci dengan cuitan-cuitannya lewat postingan-postingannya yang menggemparkan. Semprotan-semprotannya terhadap kebijakan desa dan tindakan para pejabat desa tampaknya kian menarik bagi banyak netizen.

Meskipun kata-katanya kasar dan bagi kalangan tertentu tidak etis, bahkan ada yang menyatakan banyak dari ucapannya yang menyimpang dari aturan hukum, tampaknya juga tak sedikit warga jagad maya yang mendukung aksi-aksinya. Entah tertarik karena kritik-kritik atau hujatannya pada perilaku pemerintah, maupun terhibur karena umpatan-umpatan yang lucu-lucu.

Drama  tampaknya berawal dari postingannya yang mengungkapkan kemarahan Mbak Suci atas kondisi pembangunan di desanya yang tidak jalan. Ia juga melontarkan tuduhannya bahwa ada korupsi serta penyimpangan di desa.

Sebagaimana bisa kita ikuti dari postingan-postingannya, tampaknya ia marah atas kondisi jalan di kampungnya  yang selama belasan tahun tidak dibangun sementara keadaannya semakin rusak parah. Lalu setelah ada inisiatif warga menghimpun dana untuk pembangunan jalan itu tanpa intervensi dan peran pemerintah desa, jalanpun jadi.

Dan kemudian terjadilah suatu tindakan dari pihak pemerintah yang membuat warga marah: Orang-orang di pemerintahan desa dan kecamatan foto-foto di jalan yang sudah dibangun itu seakan mereka punya peran dalam perbaikan jalan tersebut.

Foto-foto itulah yang membuat Mbak Suci marah besar. Ia ungkapkan kemarahannya pada oknum-oknum pemerintah desa yang dianggapnya hanya mengambil keuntungan dari pencitraan kosong yang mirip kemunafikan yang memuakkan.

Tampaknya kemudian semprotan mbak Suci itu direaksi oleh oknum-oknum pemerintah desa dan kecamatan—kemungkinan juga diketahui oleh orang-orang di  kabupaten. Maka dari sinilah drama semakin panas dan mengawali babak seru di mana Mbak Suci seperti telah dibaptis oleh media sosial sebagai agresor terhadap oknum-oknum pemerintah yang dianggapnya menyimpang, terutama desa-desa di area Tulungagung.

Suatu serangan dramatik terhadap nama-nama pejabat desa, pejabat kecamatan, dan bahkan pejabat level kabupaten juga terjadi. Yang membuat warga dan netizen terhibur adalah bagaimana nama-nama para pejabat itu dipanggi dengan julukan khas, yang oleh sebagian orang mungkin juga dapat dianggap suatu perendahan.

Namun, bagi sebagian besar netizen, keberanian Mbak Suci memberi julukan dan olokan-olokan itu sangat menghibur. Di sinilah drama Mbak Suci dengan oknum-oknum pejabat desa dan pemerintah level atasnya ini semakin digemari oleh netizen. Popularitasnya naik pesat. 

KRITIK LEWAT MEDIA SOSIAL

Serangan Mbak Suci bukan hanya tertuju pada pejabat pemerintahan. Tetapi belakangan juga terlihat aksi saling serang antara dirinya dengan Kacunk Motor. Sebagian netizen menyayangkan kenapa ia akhirnya sibuk mengritik pengusaha jualan mobil itu pada hal Kacunk bukan pejabat Negara.

Meski demikian, sebagian netizen menganggap bahwa apa yang dilakukan Kacunk juga terkait dengan dugaan penyimpangan oknum-oknum aparat Negara yang diduga terlibat dalam penambangan galian C yang dijual ke pihak Kacunk. Hingga saat ini saling menyerang via media sosial dan saling melaporkan ke ranah hukum masih terus berkembang.

Sejauh ini,  Mbak Suci, dengan mental baja tanpa rasa takut atas dampak bagi ucapan dan tindakannya yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak etis dan berpotensi melanggar UU ITE, dianggap mewakili pikiran dan hati rakyat terhadap pemerintahan, termasuk pemerintahan  desa.

Tema desa menjadi semakin menarik untuk disoroti. Kenyataannya, belakangan ini pemerintahan desa juga semakin mendapat sorotan yang luas yang bisa kita lihat via media sosial.

Perilaku korupsi  di desa dikuak oleh netizen. Juga kasus-kasus korupsi kepala desa dan perangkat desa yang sedang berhadapan dengan hukum. Yang menarik lagi juga, konten-konten tentang keberanian rakyat memprotes kepala desa dan perangkat desanya.

Dilihat dari komentar-komentarnya, dapat dipahami bahwa ternyata selama ini banyak keluhan  rakyat terhadap  pemerintah desa. Postingan-postingan tersebut menguak adanya persepsi dan pandangan warga desa yang rata-rata negative terhadap kepemimpinan di desanya—hanya saja tidak berani langsung diungkapkan.

Salah satu konten yang belakangan ini FYP dan viral, misalnya, adalah video Cak Soleh—salah seorang aktivis dan pembela hukum yang belakangan ini juga kian viral—dengan slogan “No viral no justice!” yang diusungnya. Dalam banyak video di facebook, instagram, dan tiktok, tampak Cak Soleh sedang kedatangan tiga orang pemuda yang merasa dicurangi atas proses tes perangkat desa dari Kediri.

Memang harus kita akui bahwa yang banyak muncul dalam postingan dan yang viral di media sosial kebetulan adalah sedikit desa. Sementara itu, di sisi lain, masih banyak  desa yang tidak terekspos. Meskipun sebenarnya banyak penyimpangan yang membuat situasi pemerintahan desa  sangat memuakkan warganya, tetapi  warga desa masih banyak yang tidak berani bersuara.

Mereka tampaknya sudah merasa cukup diwakili oleh Mbak Suci dan postingan dari akun-akun medsos lainnya. Mbak Suci dan konten warga yang mengritik desa lainnya dianggap sudah mewakili daripada membuat konten sendiri tentag desanya. Mereka lebih berani menunjukkan ketidakpuasan warga di desa lain daripada di desanya sendiri meskipun, katakanlah, di desanya sendiri banyak penyimpangan.

Banyak komentar di postingan Mbak Suci yang menyatakan, misalnya: “Seandainya tiap desa ada orang seperti Mbak Suci!”

Sementara tidak tumbuh Suci-Suci di desa-desa yang lain. Desa lain justru menitipkan kritik dan mengungkap penyimpangan di desanya lewat Mbak Suci. Mbak Suci, dengan demikian, harus merangkap perannya—selain mengritik desanya sendiri akhirnya juga menjadi juru bicara dari warga desa lain yang tidak berani melakukan protes dan tidak punya nyali mengungkap kecurangan yang terjadi. Dalam kondisi semacam ini, sebenarnya internet sebagai ruang publik (‘public sphere’) yang bebas hambatan tidak dimanfaatkan oleh warga untuk menyampaikan pikirannya terhadap kondisi desanya.

Artinya, keberanian warga untuk mengritik pemerintahannya masih belum maksimal. Inisiatif sendiri untuk bersuara kurang muncul, dan masih mengandalkan ata tergantung pada orang atau pihak lain.

Itulah yang masih menjadi problem demokrasi kita. Masih kurang adanya kemandirian bersikap, dan selalu tergantung pada orang lain. Mereka masih menunggu datangnya pahlawan daripada menjadikan diri mereka sebagai pelaku atau subjek aktif dari gerakan demokrasi di desa. (*)

*) Nurani Soyomukti adalah Pendiri Institute Demokrasi dan Keberdesaan (INDEK), saat ini sedang nyantri di Pasca-Sarjana Akidah Filsafat Islam UIN Satu Tulungagung.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

suci mbak suci korupsi desa suci tulungagung kritik media sosial Pemerintah Desa