Orang Tua Santri Daul Milal Anggap Tragedi Al-Khoziny Sebagai Takdir dan Tradisi

Ketika Tembok Runtuh, Logika pun Ikut Ambruk

10 Oktober 2025 06:15 10 Okt 2025 06:15

Thumbnail Ketika Tembok Runtuh, Logika pun Ikut Ambruk
Orang tua dari Darul Milal yang menjadi korban Runtuhnya Pondok Pesantren Al-Khoziny. (Foto: Shinta Miranda/Ketik)

KETIK, SURABAYA – Di tengah reruntuhan bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny Sidoarjo, yang menelan korban jiwa para santri, muncul suara yang terdengar menenangkan, namun juga menggugah tanya.

Bukan teriakan tuntutan atau desakan keadilan, melainkan kepasrahan yang nyaris sempurna.

“Belum, belum (mendengar). Dan menurut saya tidak perlulah diperbesar,” ujar Achmad Rofiq, salah satu orangtua korban bernama Daul Milal ketika ditanya soal proses hukum terhadap pihak pondok pada Kamis 9 Oktober 2025.

Pernyataan itu terdengar sejuk di tengah panasnya duka  tetapi sekaligus mengisyaratkan bagaimana tragedi sering berakhir sebagai urusan “takdir,” bukan tanggung jawab.

Rofiq menegaskan, siapa pun tentu tidak menginginkan musibah.

“Tidak mungkin siapa pun yang punya atau yang jadi tuan rumah atau pengasuh kepingin seperti itu, tidak mungkin,” katanya.

Kalimat yang terdengar wajar, andai saja tidak diucapkan di tengah peristiwa yang seharusnya memantik evaluasi mendalam.

Ia menyebut robohnya bangunan itu sebagai “kelalaian salah satu, kadang-kadang dari pembangun atau pemborong.”

Namun bagi Rofiq, keterlibatan santri dalam kegiatan pembangunan bukan bagian dari masalah. Justru, katanya, itu adalah tradisi pondok.

“Kalau masalah anak-anak dilibatkan itu memang sudah tradisi pondok. Pondok itu kalau tidak seperti itu, itu bukan pondok," terangnya.

Dengan keyakinan penuh, ia menyebut aktivitas para santri bukan eksploitasi, melainkan bentuk pembelajaran karakter.

“Karena memang bukan eksploitasi anak, tapi itu membangun anak agar bisa punya jiwa kerjasama dan ngotong roya," terang Guru Ngaji ini.

Tradisi itu, katanya, sudah mendarah daging. Dari membantu jualan hingga ikut membangun, semua dianggap bagian dari pendidikan.

“Itu yang kami rasa kami, kami juga dari pondok. Jadi sudah terbiasa untuk biasa bersama-sama ngerjakan apa yang dibutuhkan untuk pondok itu sendiri.”

Ironinya, Rofiq mengaku anaknya yang lain tetap akan mondok bahkan di pondok yang sama.

“InsyaAllah pondok. Tidak, tidak ada (trauma). Semuanya itu ikut darullah. Tidak mungkin terjadi kalau tidak ada takdir Allah,” katanya dengan tenang.

Bagi Rofiq, Al-Khoziny adalah pondok sepuh, warisan dari jalur spiritual ulama besar.

“Enggih, enggih, insyaAllah. Nggak ada pondok sepuh (yang sebagus Al-Khoziny). Karena terus terang di sini itu pondok sepuh. Dari Rasulullah S.A.W. Dari, melalui, Syekhuna Holil Bangkalan," tuturnya.

Dan begitulah, di negeri yang terbiasa menyebut setiap kelalaian sebagai “ketentuan Ilahi,” ambruknya bangunan pun tak mengguncang keyakinan.

Tembok runtuh, santri wafat, tapi tradisi dan kepasrahan tetap berdiri kokoh.

Sementara publik masih bertanya siapa yang seharusnya bertanggung jawab, sebagian keluarga korban justru merasa tak ada yang perlu disalahkan. (*)

Tombol Google News

Tags:

Al Khoziny pesantren Al Khoziny korban al khoziny Surabaya Daul Milal korban Ponpes Al Khoziny Surabaya orang tua korban al Khoziny Surabaya