Listrik padam berkepanjangan di Provinsi Aceh pascabanjir ternyata tidak sepenuhnya membawa dampak negatif. Di balik gelap yang merata, tersimpan berbagai “manfaat” yang patut dicatat sebagai bagian dari pengalaman kolektif masyarakat.
Setidaknya, warga Aceh kembali diingatkan bahwa hidup tanpa listrik adalah sebuah kemungkinan nyata, kemungkinan yang tampaknya ingin terus dilestarikan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Di era digital yang serba cepat, listrik padam menghadirkan jeda. Telepon genggam tak lagi bisa diisi daya, jaringan internet melemah, dan arus informasi tersendat. Masyarakat pun dipaksa untuk memperlambat ritme hidup.
Barangkali ini adalah kontribusi PLN dalam kampanye kesehatan mental: mengurangi ketergantungan pada gawai dan media sosial. Dalam gelap, warga kembali berbincang tatap muka, meski dengan ekspresi lelah dan cemas menanti lampu menyala.
Malam hari kini terasa lebih sunyi dan penuh makna. Lampu jalan padam, rumah-rumah diterangi cahaya lilin, dan suara generator menjadi musik latar kehidupan.
Anak-anak belajar bahwa cahaya tidak selalu datang dari sakelar, sementara orang tua bernostalgia dengan masa lalu—masa ketika listrik adalah barang mewah, bukan layanan publik yang dijanjikan hadir 24 jam.
Bagi pelaku UMKM, listrik padam membuka ruang kontemplasi ekonomi. Usaha penggilingan, kedai kopi, warung makan, hingga industri rumahan terpaksa berhenti beroperasi.
Pendapatan menurun, bahan baku terbuang, dan pelanggan menghilang. Namun dari situ, para pelaku usaha kecil dilatih untuk memahami arti ketangguhan dan kesabaran tingkat tinggi. Sebuah pelatihan gratis yang tentu tidak pernah mereka minta.
Nelayan pun merasakan manfaat serupa. Tanpa listrik, es batu sulit diperoleh, hasil tangkapan tak bisa disimpan lama, dan biaya operasional melonjak.
Akan tetapi, semua itu menjadi sarana pembelajaran agar nelayan semakin ikhlas menerima kenyataan. Bukankah hidup memang tentang menerima apa adanya, terutama ketika layanan dasar tak kunjung kembali normal?
Listrik padam juga mempererat hubungan sosial. Warga saling meminjam genset, berbagi colokan, bahkan berbagi keluh kesah. Solidaritas tumbuh subur di tengah kegelapan. Ini membuktikan bahwa ketidakhadiran negara dalam bentuk layanan listrik justru mampu memunculkan kekuatan masyarakat secara mandiri.
Sementara itu, PLN seolah mengajarkan filosofi hidup yang dalam: bahwa pemulihan pascabanjir adalah proses panjang yang tak perlu tergesa-gesa. Normalisasi listrik bukan soal kecepatan, melainkan soal kesabaran publik. Setiap hari tanpa listrik menjadi ujian kedewasaan masyarakat Aceh dalam menerima keadaan, meski tanpa kepastian waktu yang jelas.
Ironisnya, semua “manfaat” ini lahir bukan dari kebijakan yang dirancang matang, melainkan dari keterlambatan dan ketidakmampuan sistem untuk segera pulih. Listrik, yang seharusnya menjadi hak dasar warga, berubah menjadi sesuatu yang dinanti seperti hadiah.
Pada akhirnya, listrik padam memang memberi banyak pelajaran. Namun pelajaran terbesar adalah ini: masyarakat Aceh kembali diminta beradaptasi, berlapang dada, dan memahami kondisi, sementara harapan akan listrik yang menyala stabil terus hidup di tengah gelap.
Dan selama gelap itu bertahan, PLN seolah mengingatkan satu hal—bahwa terang bukan soal teknis semata, melainkan soal janji yang belum ditepati.
*) Teuku Rahmat merupakan pemuda Aceh Barat Daya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
