KETIK, SLEMAN – Hari Batik Nasional, yang jatuh setiap 2 Oktober, kembali dirayakan sebagai pengingat pengakuan UNESCO pada 2009 yang menetapkan batik sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Peringatan ini menegaskan pentingnya menjaga tradisi adiluhung sekaligus mendorong inovasi agar batik tetap relevan di kancah global.
Beragam daerah di Indonesia menyambut hari bersejarah ini dengan menguatkan identitas batik lokal mereka, tak terkecuali Kabupaten Sleman yang menghadapi babak baru dalam pengembangan kerajinan batiknya.
Batik Parijoto Sleman: Dari Ikon Wajib ke Era Kreativitas Bebas
Di tengah kemeriahan Hari Batik Nasional, perhatian juga tertuju pada ragam batik khas daerah, salah satunya adalah Batik Parijoto Sleman.
Batik ini sering di kombinasikan dengan motif lain seperti Sinom atau Salak Pondoh, menghasilkan corak seperti "Sinom Parijotho Salak". Kabarnya motif ini terinspirasi dari tanaman Parijoto yang banyak tumbuh di lereng Gunung Merapi, dan sebelumnya digalakkan sebagai batik identitas daerah.
Sebelumnya Pemerintah Kabupaten Sleman bahkan telah menetapkan motif ini sebagai salah satu batik khas melalui Peraturan Bupati Sleman Nomor 35 Tahun 2015 tentang Tata Kelola Batik Sleman. Secara filosofis, motif Parijoto di anggap melambangkan ketegasan dan kebijaksanaan.
Namun, pengembangan motif tunggal ini kini memasuki fase evaluasi kritis, terutama dari pucuk pimpinan daerah.
Sikap Tegas Bupati Harda Kiswaya
Bupati Sleman, Harda Kiswaya, telah beberapa kali melontarkan pandangan tegas mengenai pengembangan batik khas Sleman sebelumnya. Ia menilai program yang terlalu fokus pada motif tunggal seperti Parijoto belum terbukti berhasil dalam menyejahterakan seluruh pengrajin lokal.
"Jika kita lihat kenyataannya, apakah Parijoto ini benar-benar sukses? Saya rasa tidak. Yang betul-betul merasakan dampak positifnya hanya sebagian kecil. Bahkan, ada kabar bahwa pengerjaan batik untuk seragam sebelumnya justru dilakukan oleh pembatik dari luar Sleman," ungkap Harda Kiswaya, Kamis 2 Oktober 2025.
Dengan tegas Bupati Sleman ini menyatakan menolak pendekatan yang menjadikan motif tertentu, seperti Parijoto, sebagai seragam wajib ASN (Aparatur Sipil Negara). Menurutnya, hal tersebut justru membatasi potensi dan kreativitas para perajin di Sleman.
Kebijakan Pro-Lokal dan Pengembangan Fleksibel
Menyikapi hal tersebut, Harda Kiswaya kini mengarahkan kebijakan baru yang lebih terbuka dan berpihak langsung pada ekonomi pengrajin Sleman:
1. Dukungan Penuh bagi Pengrajin Sleman: Bupati memerintahkan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk memesan dan membeli produk batik dan lurik hanya dari pengrajin yang berdomisili di Sleman. Kebijakan ini bertujuan mengalirkan pendapatan secara langsung kepada pelaku UMKM batik lokal.
2. Kreativitas Tanpa Batas: Pemkab Sleman tidak akan menetapkan motif "khas" baru. Bupati Harda membebaskan perajin untuk berkreasi dengan motif apa pun.
3. Fokus pada Peningkatan Kapasitas: Alih-alih mendikte motif, Pemkab Sleman akan berfokus pada pendampingan pemasaran dan peningkatan kapasitas produksi. Hal ini dilakukan untuk membantu perajin menembus pasar yang lebih luas, baik nasional maupun internasional.
"Intinya satu, yang digunakan harus hasil karya masyarakat Sleman. Soal motif, silakan berkreasi sebebas-bebasnya," tegasnya.
Dengan kebijakan baru tersebut para perajin Sleman kini memiliki ruang yang lebih besar untuk berinovasi, memastikan seni membatik di Sleman terus hidup dan menjadi sumber kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan nasib Batik Parijoto akan ditentukan oleh selera pasar dan pilihan para perajin, bukan lagi sebuah kewajiban. (*)