Susahnya Jadi Pendamping Desa

15 November 2025 14:41 15 Nov 2025 14:41

Thumbnail Susahnya Jadi Pendamping Desa
Oleh: Moch. Efril Kasiono*

Seperti biasa sebelum terjun ke lokasi dampingan, saya ngobrol dengan beberapa sahabat Pendamping Lokal Desa (PLD) dan Pendamping Desa (PD) di warung kopi dekat kantor kecamatan, sekadar membahas apa yang perlu dilakukan supervisi atas kegiatan yang dilaksanakan oleh pemdes.

Bagi kami yang suka ngopi dan ngudud ini sudah menjadi rutinitas meski tidak setiap hari dilakukan, tapi disinilah letak keasyikannya, dan ini salah satu penghibur dikala banyak permintaan data dari kementerian atau dinas terkait.

Saya paham betul bahwa selain tugas profesional, kita juga manusia yang butuh ruang untuk bernafas. Ngopi plus ngudud bukan kebiasaan buruk atau santai semata, tapi menjadi ruang kolektif di mana kita bisa melepas beban rutin atau sekedar mencurahkan kegelisahan.

Tadi pagi tak seperti biasa, saya lihat wajah para sahabat muram. Dengan logat Madura saya tanya “ada apa?” salah satu sahabat saya langsung menyodor hape, dan memutar sebuah tayangan video salah satu legislator di pusat mempertanyakan urgensi keberadaan para pendamping desa, mempertanyakan kinerja pendamping.

Masih dengan logat madura, sahabat saya yang duduk di sebelah kiri nyeletuk “kok, sampai hati, mereka bertanya demikian? Apa yang salah dengan para pendamping?” sambil lalu dia menoleh ke arah saya.

Saya diam sesaat, kemudian menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari otokritik terhadap kita, tak perlu dimasukkan dalam hati, cukup dipahami dan diingat bahwa apapun yang kita kerjakan tidak akan pernah bisa memuaskan bagi orang yang hanya melihat dengan menggunakan kaca mata kuda.

Jika dipahami lebih dalam, menjadi seorang pendamping desa itu tidak mudah, secara formal landasan hukum pendamping desa itu adalah Permendes PDTT Nomor 19 Tahun 2020.

Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pendamping desa diartikan sebagai tenaga pendamping profesional yang memiliki fungsi meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintah desa, pembangunan desa, pembentukan BUMDes, peningkatan sinergi program dan kegiatan desa, serta kerjasama antar desa. Tentu tugas mulia ini tidak boleh dianggap remeh. 

Sekali lagi, menjadi pendamping desa itu tidaklah mudah. Setiap hari berjibaku dengan data, menghadapi kapasitas aparat desa yang berbeda-beda, sehingga pendamping desa harus bisa membedakan intensitas dan pola pendekatannya.

Belum lagi soal adanya resistensi terhadap perubahan atau rendahnya partisipasi masyarakat, disini tugas pendamping adalah menumbuhkan rasa memiliki dan partisipasi aktif.

Tak hanya itu, pendamping desa harus bisa melakukan sinergitas antarprogram yang kadang-kadang membuat pembangunan desa terfragmentasi antara APBDes, ADD, DD, program daerah dan pusat. 

Namun, dalam pelaksanaanya, posisi pendamping desa berada di posisi dilematis, disatu sisi menjadi ujung tombak pelaksana kebijakan, tapi disisi lain juga menjadi pihak yang kerap disalahkan ketika kebijakan gagal mencapai sasaran. 

Sedari awal pendamping desa itu diajarkan tidak anti terhadap kritik dan kritik publik bisa muncul kapan saja, sehingga para pendamping harus siap menjelaskan, berkomunikasi dan menunjukkan bukti kontribusi kita. 

Bagi saya, kritik salah satu legislator itu menjadi momen kita untuk reaffirm (menegaskan kembali) komitmen kita sebagai mitra perubahan, mitra yang membantu desa lebih baik, lebih mandiri dan lebih bermartabat. 

Meski keberadaan kita jauh dari sorotan publik, bukan karena kita santuy atau leha-leha tapi sebagian besar pekerjaan kita “di balik layar”. Tapi jika satu desa berhasil memperkuat kelembagaannya, warga desa sudah berani bicara dan mengusulkan kegiatan atau ketika BUM Desa mulai berjalan, itulah warisan kita.

Mari kita teguhkan kembali, bahwa fungsi kita jelas, tugas kita menantang, tapi bukan tak bisa dijalankan dengan baik dan kritik bukan berarti kita gagal, tapi kita punya ruang untuk terus tumbuh dan tumbuh.

Teruntuk para sahabat pendamping desa di seluruh nusantara, tugas kita sangat mulia dan besar, teruslah ngopi, teruslah berbagi, teruslah mendampingi dan jangan berkecil hati. Mari kita tunjukan bahwa pendamping bukan penghambat apalagi beban bagi negara tapi mitra strategis pembangunan desa sekaligus pilar profesi pembangunan bangsa.

*) Moch. Efril Kasiono merupakan Pendamping Desa Kabupaten Bondowoso

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini pendamping desa Moch. Efril Kasiono