Sebagai Bupati Sleman, isu ketimpangan antara pusat dan wilayah pinggiran seperti Minggir, Moyudan, dan Tempel, saya lihat sebagai ujian integritas terhadap klaim Sleman sebagai daerah maju.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi patut diapresiasi, namun pertumbuhan yang tidak merata adalah pekerjaan rumah terbesar yang harus dituntaskan. Kemajuan sejati harus terukur dari sejauh mana peluang dan fasilitas hidup merata hingga ke padukuhan yang paling terpencil, memastikan pertumbuhan selalu inklusif, bukan sekadar ilusi yang terpusat.
Meredefinisi Kebutuhan Dasar di Pinggiran
Kondisi di mana anak muda harus menempuh jarak jauh ke pusat kota hanya untuk mencari pekerjaan atau sekadar tempat berkumpul yang layak adalah sindiran keras bagi kebijakan tata ruang dan alokasi sumber daya daerah selama ini. Kalimat "Mau nongkrong saja harus ke kota" adalah alarm yang menusuk dan harus segera dijawab. Ini menunjukkan dua masalah mendasar yang wajib segera diperbaiki:
Yang pertama adalah Ketidaksetaraan Ruang Hidup. Ruang interaksi sosial, seperti taman, pusat komunitas, atau bahkan tempat usaha yang nyaman, bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang generasi penerus. Minimnya fasilitas ini di pinggiran menciptakan kekosongan sosial, yang secara perlahan menggerus kohesi dan identitas lokal.
Yang kedua adalah Kesenjangan Kesempatan Ekonomi. Karena minimnya fasilitas pendukung dan infrastruktur yang andal, wilayah pinggiran kerap luput dari perhatian investasi. Hal ini secara langsung memaksa anak-anak muda menjadi komuter harian yang secara ekonomi tidak efisien dan merampas waktu mereka untuk berinovasi dan membangun komunitas sendiri.
Sedangkan tugas Pemerintah Kabupaten adalah mengembalikan "denyut sosial dan ekonomi lokal" yang hilang di kawasan pinggiran melalui intervensi yang terencana dan terukur.
Desentralisasi Anggaran dan Konektivitas
Komitmen ini tidak boleh hanya berhenti pada wacana. Namun harus didukung oleh kebijakan struktural yang sedang diimplementasikan untuk secara fundamental mengatasi ketimpangan:
Langkah pertama adalah Menghidupkan Padukuhan sebagai Pusat Otonomi. Isu hilangnya denyut sosial dan ekonomi dijawab dengan Program Dana Pembangunan Padukuhan sebesar Rp 50 Juta per tahun (mulai 2026).
Ini adalah langkah paling nyata dalam desentralisasi kewenangan. Saya percaya bahwa pemerintah kabupaten tidak selalu tahu persis apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh warga Padukuhan yang ada di Kapanewon Minggir atau Tempel.
Dengan memberikan Rp 50 juta langsung ke Padukuhan, saya mengembalikan hak dan otonomi kepada masyarakat. Merekalah yang paling tahu apakah uang itu lebih baik digunakan untuk meratakan jalan, membangun balai pertemuan, atau membuat spot nongkrong lokal yang sesuai selera anak muda. Ini adalah pemerataan kekuasaan anggaran.
Langkah kedua adalah Keadilan Infrastruktur Fisik dan Digital. Untuk membuka kesempatan kerja, konektivitas adalah kuncinya. Komitmen "Sleman Dalane Alus lan Padang" (Jalan yang Halus dan Terang) adalah janji fisik yang diutamakan.
Di sisi lain, konektivitas digital sama fundamentalnya. Fokus pada Evaluasi WiFi Gratis Padukuhan adalah penegasan saya bahwa akses internet adalah hak dasar. Ini harus memungkinkan anak muda di Moyudan bekerja secara remote atau memulai bisnis daring tanpa harus hijrah ke kota.
Langkah ketiga, Pemkab Sleman menerapkan Tata Ruang yang Berpihak pada Keseimbangan. Kami memastikan bahwa setiap investasi dan pembangunan harus mematuhi tata ruang yang berkeadilan.
Dukungan terhadap Ruang Terbuka Publik (RTP) dan penataan kawasan adalah upaya untuk memperbanyak community hub yang bisa diakses publik secara gratis. Ini menjamin bahwa kawasan pinggiran tidak hanya menjadi tempat "tidur" bagi pekerja kota, tetapi menjadi pusat komunitas yang mandiri.
Menutup Gap Ruang Hidup
Bagi saya selaku Bupati Sleman, tujuan akhir pembangunan adalah menciptakan kabupaten di mana kualitas hidup, harga diri, dan peluang di Minggir sama bermartabatnya dengan kualitas hidup di Depok atau Ngaglik. Pertumbuhan ekonomi Sleman harus menjadi berkah yang merata, bukan gap yang memisahkan.
Melalui desentralisasi anggaran padukuhan dan pemerataan infrastruktur fisik dan digital, saya berkomitmen untuk memastikan bahwa anak muda di seluruh Sleman memiliki peluang yang sama untuk sukses di tempat mereka dilahirkan, sehingga ungkapan "Mau Nongkrong Saja Harus ke Kota" akan segera menjadi kisah lama yang dituntaskan.
*) Harda Kiswaya adalah Bupati Sleman Periode 2025-2030 yang sedang menempuh Program Studi Doktoral (S3) Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan (DKIK) di Sekolah Pascasarjana UGM.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
