KETIK, MALANG – Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) turut menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah. Pasca putusan tersebut, pemerintah harus melengkapinya dengan revisi terhadap UU Pemilu.
Hal tersebut disampaikan oleh Dekan FH UB, Aan Eko Widiarto dalam Seminar Nasional bertajuk Menata Ulang Arah Demokrasi dan Konstitusionalitas Pemilu Indonesia Pasca Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal.
"Kita sekarang ingin menyumbangkan pikiran pasca Putusan MK 135. Ada hal yang sangat fundamental khususnya terkait pemilu nasional dan lokal yang dipisah," ujarnya, Jumat 7 November 2025.
Agar putusan tersebut tidak memicu ketidakpastian dalam sektor politik, hukum, maupun bernegara, harus diikuti dengan revisi UU Pemilu. Pasalnya, hingga saat ini UU Pemilu belum juga dilakukan penyesuaian.
"Memperkuat atau memicu ketidakpastian itu semua tergantung dari aturan hukum. Sekarang kan gak ada aturan hukum yang mengatur lebih lanjut dari putusan MK," lanjutnya.
Melalui putusan ini, terdapat jeda 2 hingga 2,5 tahun antara pemilu nasional, dan di daerah untuk memilih DPRD Provinsi dan kota/kabupaten, serta kepala daerah.
"Kita dorong agar UU Pemilu segera dilakukan penggantian untuk memasukkan materi-materi yg sudah banyak diuji oleh MK sehingga perlu dibungkus secara baik oleh pembentuk UU," tegasnya.
Menurut Eko, putusan MK ini tidak menimbulkan peluang hilangnya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat. Dalam putusan ini MK memerintahkan agar kepala daerah dan DPRD dipilih dalam waktu bersamaan.
"Pemilihan kepala daerah diperintahkan konstitusi, dipilih dalam pemilu. Sehingga kalau dalam pemilu kan berati tidak oleh DPRD. Putusan MK ini, kepala daerah harus dipilih dalam pemilu. Sehingga tidak ada kemungkinan untuk dipilih melalui DPRD," jelasnya.
Pemisahan pemilu ini juga dinilai efektif untuk menghilangkan aksi asal pilih dari masyarakat. Pertimbangan pemilihan pun dapat dilakukan dengan lebih matang.
"Pemilih ini ketika memilih tidak dalam kondisi blank tapi ada preferensi politik yang clear. Kalau dipisah antara nasional dan lokal, pertimbangan bisa lebih matang," jelasnya.
Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin menjelaskan KPU bertugas melaksanakan putusan dan undang-undang yang nantinya ditetapkan. Saat ini KPU RI aktif melakukan kajian untuk merumuskan rencana dan opsi dari putusan tersebut.
"Kami sekarang sifatnya melakukan kajian, diskusi terkait beberapa rencana, opsi usulan untuk memberi masukan. Tapi selebihnya UU sementara ini kita menunggu proses di DPR," ujarnya.
Menurutnya Putusan MK ini dapat diartikan sebagai semangat perubahan. Untuk itu ia akan mendukung regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah nantinya.
"Kami mendiskusikan beberapa opsi karena apapun desain pemilu, yang terdampak langsung di lapangan pasti penyelenggara. Pada intinya kita menunggu saja undang-undang ini," tutupnya. (*)
