KETIK, SURABAYA – Adanya fenomena Post Truth kian mengkhawatirkan, era ketika masyarakat lebih mendengar pendapat dari influencer daripada pakar.
Selain itu juga post truth menggambarkan, matinya kepakaran (the death of expertise) saat ini kian mengkhawatirkan. Berbagai disiplin ilmu kini seringkali terkalahkan oleh informasi yang lebih populer dan sensasional, khususnya di media sosial.
Mengenai fenomena tersebut, Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga (Unair), Angga Prawadika Aji S IP MA memberikan tanggapan.
Menurutnya, terdapat dua faktor utama yang mendorong era post-truth ini, yakni perkembangan politik dan popularitas media sosial.
Post-truth itu berkaitan dengan dua faktor utama. Yang pertama tentang perkembangan politik dan yang kedua tentang popularitas media sosial.
"Keduanya kemudian mendefinisikan bagaimana post-truth menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan banyak perdebatan. Salah satunya adalah apa yang disebut dengan matinya kepakaran,” jelasnya melalui keterangan tertulis pada Selasa 5 November 2024.
Selain itu, Angga menyoroti dampak besar media sosial dalam menurunkan nilai keahlian. Media sosial kini memberikan panggung besar bagi semua orang. Tidak peduli apakah mereka memiliki keahlian di bidang tertentu atau tidak.
“Seperti kata Umberto Eco, ahli semiotika. Media sosial kini menjadi sumber masalah besar. Orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas, tidak memiliki expertise kemudian suaranya memiliki bobot yang sama dengan orang yang selama bertahun-tahun memiliki dasar ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan," tambah Angga.
Dampaknya, masyarakat seringkali menilai informasi berdasarkan jumlah likes, views, atau popularitas. Daripada informasi berbasis riset atau fakta.
Fenomena post truth bukan hanya mengaburkan batas antara fakta dan opini, tetapi juga mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan di tengah masyarakat.
“Media sosial itu kan berupaya untuk mengkuantisasi perhatian. Mengkuantisasi validasi. Sehingga, ketika kita melihat ada satu opini atau pandangan di media sosial, kemudian konten itu ternyata tidak memiliki like yang banyak. Kita secara otomatis memandang rendah hal tersebut,” terang Angga.
Fenomena Echo Chamber
Kondisi tersebut, lanjut Angga, diperparah dengan ketergantungan masyarakat pada sosok-sosok populer. Seperti influencer untuk menafsirkan informasi yang mereka terima. Ketika masyarakat belum memiliki literasi digital yang cukup, mereka cenderung mempercayai sumber informasi yang sudah familiar. Tanpa mempertimbangkan validitas atau kapabilitas sumber tersebut.
Hal tersebut memicu fenomena echo chamber. “Echo chamber terjadi ketika masyarakat hanya mau mengonsumsi informasi yang sesuai dengan keyakinannya saja dan secara aktif menolak informasi apa pun yang berlawanan,” papar Angga. Kurangnya literasi dan kemampuan berpikir membuat masyarakat Indonesia mudah termakan misinformasi dan berita bombastis yang datang dari figur terkenal.
“Jika kita tidak segera memperbaiki literasi masyarakat, kita akan menghadapi generasi yang sulit membedakan antara opini populer dan fakta yang valid. Pada akhirnya, ini bisa mengarah pada pembodohan massal. Di mana hanya popularitas yang dipandang sebagai ukuran kebenaran,” pungkas Angga. (*)
Era Post Truth, Dosen Fisip Unair Tanggapi Pengaruh Media Sosial Menurunkan Nilai Keahlian
5 November 2024 18:18 5 Nov 2024 18:18
Trend Terkini
20 Des 2025 14:01
Sikapi Konflik PBNU, PWNU Jabar dan PCNU Serukan Islah Demi Ukhuwah an-Nahdliyah
17 Des 2025 04:06
Breaking News! Toko Top Senyum 5000 di Km 9 Sorong Terbakar, Ini Kata Saksi di TKP
19 Des 2025 11:15
Lowongan Kerja! Dapur MBG SPPG Gintung Comal Buka Lowongan hingga 25 Desember 2025
17 Des 2025 18:00
Berbuah Manis, Puluhan RW dan Sekolah di Kota Malang Diguyur Penghargaan Lingkungan Hidup
18 Des 2025 13:02
Trans Jatim Bikin Akses Perjalanan Antarkota Makin Mudah! Ini Bukti Ide Cemerlang Transportasi Publik ala Gubernur Khofifah Sukses
Tags:
Post Truth Unair Dosen Fisip Unair InfluencerBaca Juga:
Cita-Cita Sejak Kelas 11 SMA, Azza Rela Terbang dari Palembang ke Surabaya Demi Masuk FK UnairBaca Juga:
Membangun Ulang Kepercayaan Publik di Era Digital: Pilar Komunikasi Pemerintah yang Transparan dan KolaboratifBaca Juga:
Meriah, Lebih dari Seribu Pelari Ikuti IKA Unair Sidoarjo Fun Run 5KBaca Juga:
Bukan Cuma Mata Konsumen, Peritel Kini Berlomba Curi Perhatian Mesin AIBaca Juga:
Tantangan Baru dalam Mewujudkan Unair sebagai Kampus HijauBerita Lainnya oleh Shinta Miranda
30 Oktober 2025 15:28
Banyaknya Keluhan Masyarakat Soal Motor Brebet, DPRD Surabaya Dorong Pertamina Tak Hanya Minta Maaf
29 Oktober 2025 05:15
Pendidikan untuk Siapa? Petani Kedung Cowek Terancam Tergusur Demi Sekolah Rakyat
28 Oktober 2025 21:11
Makna Baru Sumpah Pemuda Menurut Yona Bagus: Gen Z Hadapi Perang Pikiran dan Inovasi
28 Oktober 2025 19:05
Marak Konten Mihol, Pemkot Surabaya Minta Influencer Tak Jadi Corong Iklan
28 Oktober 2025 18:57
Benang Emas, Saat Mesin Jahit Mengubah Nasib Ratusan Warga MBR Surabaya
27 Oktober 2025 16:00
[FOTO] Ketika Spesialis Mall Bangun Rumah Sakit, Begini Tampilan Istimewa Siloam Hospitals Surabaya, Gak Ada Bau Obat!
Trend Terkini
20 Des 2025 14:01
Sikapi Konflik PBNU, PWNU Jabar dan PCNU Serukan Islah Demi Ukhuwah an-Nahdliyah
17 Des 2025 04:06
Breaking News! Toko Top Senyum 5000 di Km 9 Sorong Terbakar, Ini Kata Saksi di TKP
19 Des 2025 11:15
Lowongan Kerja! Dapur MBG SPPG Gintung Comal Buka Lowongan hingga 25 Desember 2025
17 Des 2025 18:00
Berbuah Manis, Puluhan RW dan Sekolah di Kota Malang Diguyur Penghargaan Lingkungan Hidup
18 Des 2025 13:02
Trans Jatim Bikin Akses Perjalanan Antarkota Makin Mudah! Ini Bukti Ide Cemerlang Transportasi Publik ala Gubernur Khofifah Sukses
