KETIK, PALEMBANG – Praktik gelap di balik proyek pembangunan Light Rail Transit (LRT) Palembang tahun 2016 terkuak gamblang di ruang sidang Pengadilan Negeri Tipikor Palembang Kelas IA Khusus. Itu dalam persidangan Rabu, 24 Desember 2025.
Empat saksi dari PT Perentjana Djaja membongkar fakta mengejutkan terkait uang fee lebih dari Rp25 miliar diserahkan kepada PT Waskita Karya menggunakan koper.
Fakta ini mencuat dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat Ir Prasetyo Boeditjahjono, mantan Direktur Prasarana Perkeretaapian sekaligus Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI sejak 2016. Proyek strategis nasional tersebut diduga merugikan keuangan negara hingga Rp74,55 miliar.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pitriadi SH MH menghadirkan empat saksi kunci dari PT Perentjana Djaja, yakni Bambang Hariadi Wikanta MM MT (Direktur), Efendi (Direktur Teknik), Hari (bagian keuangan), serta Wiraksa (staf administrasi).
Dalam keterangannya, Bambang Hariadi mengungkap awal kejanggalan proyek. PT Perentjana Djaja awalnya mengajukan penawaran senilai Rp70 miliar kepada PT Waskita Karya. Namun, tanpa penjelasan transparan, nilai kontrak melonjak menjadi Rp93 miliar, dengan pencairan dilakukan dalam enam tahap.
“Sejak awal sebenarnya sudah ada keganjilan, tapi proyek tetap kami jalankan,” ungkap Bambang di hadapan majelis hakim.
Soal dana pengembalian atau fee, Bambang mengaku nominal tersebut tidak pernah dibahas secara resmi dalam rapat direksi. Namun, setelah dana proyek dicairkan, perusahaan diminta menyiapkan cek yang kemudian dicairkan dan diserahkan kepada pihak Waskita.
Keterangan tersebut diperkuat saksi Hari dari bagian keuangan. Ia menyebut dana tersebut disebut sebagai “biaya koordinasi” atas perintah atasan. Karena tidak memungkinkan dicatat dalam pembukuan resmi, uang diserahkan secara langsung.
“Uangnya disiapkan dalam koper. Koper-koper itu disediakan oleh PT Perentjana Djaja,” tegas Hari di persidangan.
Saksi Wiraksa menambahkan detail dramatis. Ia mengaku ikut mendampingi pencairan uang di bank, menghitung tumpukan uang tunai dalam jumlah besar hingga harus dibawa menggunakan dua hingga tiga koper setiap kali pengantaran.
Uang tersebut kemudian diantar ke apartemen di kawasan Kalibata dan MT Haryono, Jakarta, sesuai arahan pihak PT Waskita Karya.
Majelis hakim juga mendalami keuntungan yang diperoleh PT Perentjana Djaja.
Saksi Hari menyebut perusahaan mengantongi laba sekitar Rp18 miliar yang masuk ke kas perusahaan, sementara Rp25 miliar lainnya disebut sebagai kasbon atau biaya overhead dan koordinasi.
Persidangan semakin menguatkan dugaan perbuatan melawan hukum ketika terungkap bahwa PT Perentjana Djaja mulai mengerjakan proyek meski belum mengantongi kontrak resmi.
Bambang berdalih langkah tersebut diambil karena adanya komunikasi dan arahan dari pihak PT Waskita Karya, termasuk permintaan pengembalian dana.
Sementara itu, saksi Efendi menyatakan pihaknya telah mengembalikan lebih dari Rp22 miliar ke Kejaksaan atas saran penyidik. Langkah tersebut diambil seiring estimasi kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp44 miliar dan diharapkan menjadi pertimbangan hukum.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumsel, Ir Prasetyo Boeditjahjono diduga bersama pihak PT Waskita Karya dan PT Perentjana Djaja melakukan pengondisian penunjukan pelaksana teknis pembangunan prasarana LRT Palembang.
Penunjukan tersebut disertai kesepakatan fee, sehingga pekerjaan tidak dilaksanakan sepenuhnya sesuai kontrak.
Akibat perbuatan tersebut, negara diduga mengalami kerugian keuangan sebesar Rp74,55 miliar lebih, sebagaimana hasil audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Kejati Sumsel.
Sidang akan kembali dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi lanjutan, sementara rangkaian fakta di persidangan kian membuka tabir gelap proyek LRT Palembang yang semula digadang sebagai ikon transportasi modern Sumatera Selatan.(*)
