Surabaya Kota Ramah Anak, Tapi Ijazah Siswa Masih Ditahan karena Tunggakan

17 September 2025 16:06 17 Sep 2025 16:06

Thumbnail Surabaya Kota Ramah Anak, Tapi Ijazah Siswa Masih Ditahan karena Tunggakan
Kunjungan Azhar Kahfi untuk kasus penahanan ijazah SMA Tanwir Surabaya. (Foto: dok. Tim Azhar Kahfi)

KETIK, SURABAYA – Predikat Surabaya sebagai kota ramah anak kembali dipertanyakan. Itu setelah muncul kasus seorang siswi lulusan SMA di Surabaya yang terancam tidak bisa memperoleh ijazah asli akibat tunggakan biaya sekolah.

Salah satu Siswi, warga Dupak Masigit Gang 11, Kelurahan Jepara, Kecamatan Bubutan, Surabaya, belum menerima ijazahnya karena masih memiliki tunggakan biaya sebesar Rp3.100.000.

Padahal, ia sudah dinyatakan lulus dari SMA Tanwir Surabaya.

Kasus ini langsung mendapat perhatian dari Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPRD Surabaya, Azhar Kahfi, yang turun tangan melakukan advokasi.

“Meski ada subsidi dari dewan, kami hanya bisa memberikan fotokopi ijazah yang sudah dilegalisir. Ijazah asli baru bisa diberikan setelah tunggakan lunas,” tegas Kepala Sekolah SMA Tanwir Surabaya Yuni ditulis pada Rabu 17 September 2025.

Fakta ini menimbulkan ironi karena pemerintah sebenarnya sudah menetapkan larangan penahanan ijazah, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Berdasarkan Peraturan Sekjen Kemendikbudristek Nomor 1 Tahun 2022 dan Permendikbud Nomor 58 Tahun 2024, satuan pendidikan tidak diperbolehkan menahan ijazah siswa dengan alasan apa pun, termasuk tunggakan biaya pendidikan.

Azhar Kahfi mengingatkan aturan ini dibuat untuk melindungi hak siswa melanjutkan pendidikan maupun masuk dunia kerja.

“Meskipun sekolah swasta mengandalkan iuran siswa untuk operasional, mereka tetap tidak bisa menjadikan ijazah sebagai jaminan atau alat untuk memaksa orang tua siswa melunasi tunggakan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, predikat Surabaya sebagai kota ramah anak juga berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.

Menurut data BPS Jatim, masih ada 122.400 jiwa warga Surabaya yang hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini berdampak langsung pada keterbatasan orang tua membiayai pendidikan anak, terutama di sekolah swasta.

“Kami akan koordinasi dengan Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan pihak terkait untuk memastikan hak pendidikan Aini tidak terabaikan. Tidak boleh lagi anak Surabaya ditahan ijazahnya ketika lulus,” tegas Kahfi.

Selain mengawal kasus ini, Kahfi juga menyiapkan solusi alternatif.

“Meskipun bantuan langsung dari BAZNAS untuk tebus ijazah siswa tidak lagi tersedia, Pemkot juga menyediakan program beasiswa pemuda tangguh,” jelasnya.

Bahkan, ia menyatakan siap secara personal ikut menjadi bagian solusi.

“Ada juga program Pemkot ‘Orang Tua Asuh’ dan saya siap kerjasama menjadi Orang Tua Asuh jikalau masih ada yang masih kesulitan tebus ijazah,” ujarnya.

Kahfi mengakui bahwa kasus ini bukan satu-satunya.

“Namun fakta di lapangan masih saya temukan ketika masa reses bersama warga Kota Surabaya yang mengadu,” ungkapnya. Ia berencana membawa persoalan ini ke sidang paripurna agar pengawasan lebih ketat dilakukan terhadap sekolah.

Kasus penahanan ijazah ini menjadi potret nyata bahwa predikat Surabaya sebagai kota ramah anak belum sepenuhnya terwujud.

Masih adanya penahanan ijazah siswa karena faktor ekonomi menunjukkan perlunya sinergi lebih kuat antara pemerintah, DPRD, dan sekolah agar hak anak Surabaya tidak terampas oleh keterbatasan biaya.

“Diperlukan sinergi antara pemerintah, DPRD, dan sekolah untuk memastikan tidak ada lagi siswa yang terhalang mendapat ijazah karena masalah ekonomi keluarga,” pungkas Azhar Kahfi. (*)

Tombol Google News

Tags:

penahanan ijazah Azhar Kahfi Gerindra Surabaya SMA Tanwir Surabaya Surabaya Kota Ramah Anak