KETIK, PALEMBANG – Sidang perkara Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat tiga anggota DPRD OKU dan Kepala Dinas PUPR OKU kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Selasa 23 September 2025. Agenda persidangan kali ini menghadirkan sejumlah saksi dari pihak swasta.
Dalam perkara ini, terdakwa adalah Nopriansyah selaku Kepala Dinas PUPR OKU Nonaktif, Ferlan Juliansyah anggota Komisi III DPRD nonaktif, M Fahrudin Ketua Komisi III DPRD nonaktif, dan Umi Hartati Ketua Komisi II DPRD OKU nonaktif. Persidangan dipimpin oleh majelis hakim Fauzi Isra SH MH dengan dihadiri tim Jaksa Penuntut Umum KPK RI.
Salah satu saksi, Edo, mengaku mengenal saksi lain yakni Narandia dan Maulana. Ia juga mengungkap bahwa dirinya memerintahkan pencairan dana sebesar Rp 308 juta dari rekening perusahaan.
“Terkait aliran dana Rp308 juta tersebut, sudah saya terima. Pencairan kami lakukan setelah rilis KPK. Saya hanya perintahkan untuk dicek, kalau ada uang di rekening, ya tarik saja dulu,” ujar Edo di hadapan majelis hakim.
Edo menambahkan, dari dana Rp308 juta itu, senilai Rp7,5 juta diberikan kepada Narandia Dinda sebagai haknya, sedangkan sisanya ia kuasai sendiri. Ia mengaku baru menyetorkan Rp100 juta ke penampungan KPK, sementara sisanya masih dalam proses pengembalian.
Terkait dana lain senilai Rp800 juta, Edo menyatakan tidak mengetahui asal-usul maupun penyerahannya.
Sementara itu, Juli Hartono Yakub, penasihat hukum terdakwa Nopriansyah, menegaskan kliennya tidak seharusnya menjadi pihak yang disudutkan dalam perkara ini.
“Klien kami hanya menjalankan kebijakan yang telah dibentuk legislatif dan eksekutif. Fakta persidangan menunjukkan para saksi cenderung menyudutkan beliau, padahal pelaksanaan itu bentuk kebijakan pemerintah daerah. Seharusnya yang bertanggung jawab adalah pemangku kebijakan tertinggi saat itu, yaitu Pj Bupati OKU,” tegas Juli Hartono.
Ia juga mengungkap bahwa pada tanggal 21, saat rapat di DPRD OKU tidak kuorum, Pj Bupati Iqbal memerintahkan kliennya untuk menemui anggota DPRD di Hotel Zuri.
“Klien kami hanya melaksanakan perintah untuk hadir dan menyampaikan arahan Pj Bupati. Bahkan, perintah tersebut sebatas untuk ‘mengokekan’ tanpa memberi pernyataan apapun. Jadi jelas, tanggung jawab seharusnya ada pada Pj Bupati yang kala itu mengakomodir semua anggota dewan di rumah dinas untuk membahas dana aspirasi. Pertanyaannya, siapa yang merancang agar dana aspirasi berubah menjadi fee pokir?” jelasnya.
Kasus ini bermula dari dugaan praktik fee dana pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD OKU, yang kemudian terungkap lewat OTT KPK. Persidangan masih akan terus berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi lainnya sebelum masuk pada pembacaan tuntutan jaksa.(*)