Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Problematika dan Cara Menyikapinya

24 Juni 2025 21:48 24 Jun 2025 21:48

Thumbnail Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Problematika dan Cara Menyikapinya
Oleh: Akhirul Ariyanto*

Rencana Kementerian Kebudayaan menulis ulang sejarah Indonesia menuai kontroversi. Kritik berdatangan, baik terhadap kerangka konsep yang telah dirilis oleh pemerintah, maupun tujuan dari penulisan itu sendiri. Target selesai Agustus 2025 terkesan terburu-buru mengingat penulisan sejarah nasional sebelumnya memakan waktu bertahun-tahun. 

Artikel ini fokus membedah beberapa hal yang menjadi kontroversi penulisan ulang sejarah nasional serta cara “bijak” menyikapinya. Mengapa perlu disikapi dengan bijak? Pertama, sejarah memiliki fungsi edukatif dan inspiratif. Masyarakat perlu menyerap nilai edukasi dan inspirasi dari masa lalu secara utuh dan menyeluruh. 

Tidak bisa hanya memandang capaian-capaian di masa lalu tanpa melihat kegagalan yang menyertai. Kedua, sejarah sebagai ilmu pengetahuan dibangun melalui serangkaian proses analisis-kritis terhadap jejak-jejak yang ditinggalkan. Ini artinya, setiap tulisan sejarah (sekalipun sejarah resmi pemerintah) bukanlah “kitab suci” yang harus diterima tanpa syarat. Masyarakat berhak skeptis dan kritis terhadap tulisan tentang masa lalu.

Mari kita mulai dengan menguji ide dari rencana tersebut. Dalam kata pengantarnya, pemerintah menyebut pendekatan Indonesia-sentris akan menjadi sudut pandang tulisan sejarah nasional. Konsep Indonesia-sentris sebetulnya bukan hal baru. Profesor Sartono Kartodirdjo merumuskan Indonesia-sentris sebagai sudut pandang penulisan sejarah bangsa sejak tahun 1957.

Ini artinya, tulisan-tulisan sejarah yang digunakan sebagai bahan ajar sudah menggunakan pendekatan tersebut. Tidak ada buku sejarah di sekolah yang menyebut Diponegoro sebagai pemberontak, kan?

Kontroversi berikutnya terkait dengan tujuan penulisan ulang sejarah. Kementerian Kebudayaan secara tegas menyebut hasil akhir berupa “sejarah resmi (official history)” yang berorientasi pada kepentingan nasional bangsa. 

Tentu saja, sejarah memang berperan sebagai pembentuk dan penguat identitas nasional. Tapi, apakah nantinya akan muncul sejarah tidak resmi hanya karena tidak ditulis oleh otoritas berwenang? Jika iya, ini berpotensi menutup dialektika kritis terhadap sejarah. Sejarah menjadi monotafsir. Nasionalisme yang terbentuk cenderung berbentuk doktrin-doktrin tertutup. 

Adanya perubahan terminologi juga menjadi sasaran kritik. Penggunaan istilah sejarah awal atau early history tidak sesuai dengan tradisi ilmiah di kalangan akademisi. Selama berabad-abad, frasa prasejarah digunakan untuk narasi kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. 

Jika nantinya istilah prasejarah menjadi sejarah awal, tentu harus dilakukan melalui simposium ilmiah agar mendapat legitimasi akademik. Apabila fase ini tidak dilalui, dikhawatirkan timbul kebingungan dalam penggunaannya. Ini dapat terjadi mengingat banyaknya perbedaan antara prasejarah dengan sejarah dari sisi metodologi.

Terakhir, terkait isi atau substansi materi yang akan disajikan dalam buku sejarah Indonesia versi penulisan ulang ini. Beberapa materi yang dianggap penting justru tidak muncul. Seperti periode Presiden Sukarno yang berada di jilid 7 dan 8 yang bertajuk “Perang Kemerdekaan Indonesia” dan “Masa Bergejolak”. 

Pemilihan diksi ini seolah mengesampingkan pencapaian yang diperoleh selama periode tersebut. Selain itu, isu-isu perempuan baik tentang peran wanita maupun tragedi-tragedi yang pernah ada, luput dari perhatian penulisan. Dari sekian banyak kontroversi yang ada, bagaimana kita menyikapinya? Kita perlu sikap “kemandirian literasi”. 

Secara sederhana, ini konsep yang mengajak masyarakat untuk tidak terpaku pada sumber tunggal. Tuntutan untuk mampu mencari dan menelaah informasi pembanding menjadi syarat mutlak keberhasilannya. Mengapa ini perlu? Ini terkait dengan proses mencerdaskan bangsa. Kemampuan berpikir kritis seharusnya dibangun melalui sikap dasar ini.  

Implementasi dari sikap kemandirian literasi dapat dimulai dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, kita perlu bersikap skeptis terhadap isu-isu yang berkembang ataupun informasi yang diterima. Kebiasaan untuk melakukan cross-check dapat menyelamatkan diri dari kekeliruan mengambil kesimpulan.

Namun, ada tantangan dua tantangan utama dari sikap kemandirian literasi. Pertama, rendahnya minat baca masyarakat. Ini berimplikasi terhadap tantangan kedua, yakni kesulitan memahami isi bacaan.

Nah, ini menjadi tanggung jawab moril kaum terdidik. Ibarat kehidupan yang diwarnai ujian dan cobaan hingga membuat kita lebih kuat, semoga tulisan ulang sejarah Indonesia membawa kedewasaan pada kita sebagai sebuah bangsa. Aamiin.

*) Akhirul Ariyanto merupakan Guru Sejarah

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Akhirul Ariyanto Penulisan Ulang Sejarah