KETIK, MALANG – Mary Wollstonecraft, seorang feminis liberal dari Spitalfields, London Britania Raya yang hidup di abad 18. Ia memiliki pandangan yang progresif terkait hakikat dari menjadi manusia utuh.
Pada abad 18, kekuatan kapitalisme menjungkir balikkan kehidupan masyarakat, terutama perempuan. Perempuan-perempuan borjuis menjadi kelompok yang pertama merasakan tinggal di rumah tanpa mempunyai pekerjaan produktif.
Perempuan borjuis diibaratkan sebagai burung dalam sangkar yang hanya dapat memanjakan diri dan menyenangkan orang lain, khususnya laki-laki dan anak. Hal tersebutlah yang menurut Wollstonecraft membentuk konstruksi perempuan sebagai makhluk emosional.
Ia berargumentasi jika laki-laki juga diperlakukan layaknya burung dalam sangkar, mereka juga akan memiliki sifat yang sama dengan perempuan. Kondisi tersebut merupakan imbas dari nihilnya kesempatan dalam mengembangkan kekuatan nalar.
Sebagai seoranh utilitarian, Wollstonecraft banyak menyampaikan argumentasinya dengan fokus pada kesetaraan kualitas pendidikan bagi perempuan.
Di dalam buku Feminist Thought karya Rosemary Putnam Tong, Wollstonecraft menegaskan masyarakat wajib memberi pendidikan kepada perempuan. Setiap manusia memiliki hak yang sama dalam mengembangkan kapasitas dirinya. Itu lah yang menjadikan manusia utuh.
Menurutnya, perempuan harus mampu menjadi pembuat keputusan yang otonom. Untuk menjadi otonom, pendidikan menjadi jalan yang harus ditempuh.
Perempuan bukanlah alat untuk kebahagiaan orang lain. Perempuan memiliki kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Tidak membiarkan kekerasan terjadi, yakni dengan menjadikan dirinya sebagai objek hingga bertentangan dengan statusnya sebagai manusia utuh. (*)
