KETIK, SURABAYA – Pernah nggak sih, kalian membeli sesuatu karena lapar mata, bukan karena kebutuhan? Atau hanya karena promo… bahkan gaya hidup?
Jika pernah, hal tersebut berkaitan dengan konsumerisme.
Berbeda dengan hedonisme yang menghambur-hamburkan uang demi kesenangan, konsumerisme adalah sebuah fenomena dimana seseorang ingin membeli atau mengonsumsi suatu barang bukan karena butuh, melainkan ingin.
Namun ‘ingin’ di sini bukan semata-mata ‘ingin’, ada faktor lain di baliknya. Bisa dari promo menggiurkan, gaya hidup, tuntutan status sosial, bahkan FOMO (Fear of Missing Out; atau ketakutan saat tertinggal sesuatu yang tren) saat melihat orang lain membeli barang tersebut.
Gimana sih contoh dari konsumerisme ini? Salah satu yang paling sering ditemui sekarang adalah kegiatan thrifting.
Banyak orang yang melakukan thrifting bukan karena membutuhkan pakaian yang dibeli, namun untuk memuaskan keinginan akan gaya hidupnya. Bahkan, beberapa pakaian bekas kini dijual dengan harga yang setara, atau bahkan lebih tinggi, dari pakaian baru.
Contoh lainnya bisa dilihat saat orang-orang membeli sesuatu dalam jumlah besar di marketplace saat promo tanggal kembar.
Banyak pengguna yang cenderung check-out hanya karena harganya turun, bukan karena mereka benar-benar membutuhkan produk tersebut.
Menurut sosiolog Jean Baudrillad, dalam bukunya The Consumer Society; Myths and Structures, konsumsi telah menjadi faktor mendasar dalam ekologi spesies manusia. Barang bukan hanya benda fungsional, tetapi penanda status, gaya hidup, dan kelas sosial.
Artinya, yang kita konsumsi bukan sekadar produknya, tetapi makna yang menempel pada produk tersebut, dan makna itu dibentuk oleh media, kapitalisme, dan struktur sosial.
Apakah konsumerisme berbahaya bagi kita? In this economy, cukup berbahaya, lho!
Karena perusahaan kapitalis dapat membaca perilaku masyarakat konsumen dan cenderung memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan mereka.
Contoh nyatanya bisa dilihat dari tren blind box, yang awalnya hanya beberapa, kini merajalela karena banyak perusahaan turut memproduksi blind box. Bahkan beberapa merchandise resmi dari perusahaan besar juga ikut menggunakan skema blind box untuk produk mereka.
Hal tersebut dipengaruhi dengan tingginya minat blind box di pasar, padahal harga yang ditawarkan sangat tinggi yang tanpa sadar merugikan konsumen dan hanya menguntungkan perusahaan sebagai produsen.
Jadi, jangan mudah tergiur promo besar, iklan produk atau tren yang didasari atas FOMO, karena selain boros untuk diri sendiri, hal itu juga dapat mempengaruhi perekonomian kita.
Bijak-bijaklah dalam membeli dan mengonsumsi barang ya, sobat Ketikers!
