Menanti Fajar 2026: Mengakhiri Era Pejabat Angkuh, Menakar Nasib ASN dan APH Pascapensiun

31 Desember 2025 15:26 31 Des 2025 15:26

Thumbnail Menanti Fajar 2026: Mengakhiri Era Pejabat Angkuh, Menakar Nasib ASN dan APH Pascapensiun
Oleh: Fajar Rianto*

Dalam dinamika kehidupan bernegara, wajah kekuasaan sering kali tercermin dari bagaimana seorang pejabat publik, baik dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Aparat Penegak Hukum (APH), memposisikan dirinya di hadapan masyarakat. 

Sebagai jurnalis yang setiap hari berkelindan dengan berbagai karakter pemegang kebijakan, kami sering melihat kontras yang nyata antara mereka yang memandang jabatan sebagai amanah pengabdian dengan mereka yang melihatnya sebagai singgasana keangkuhan. 

Fenomena pejabat yang menjaga jarak atau bahkan bersikap sombong bukanlah hal baru, namun dampaknya terhadap marwah institusi dan masa depan pribadi sang pejabat sangatlah fatal.

Seorang pejabat seharusnya menyadari bahwa komunikasi adalah kunci utama dari pelayanan publik. Sikap komunikatif bukan sekadar tuntutan profesionalitas, melainkan bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat. 

Ketika seorang pejabat menutup diri, sulit ditemui, atau bersikap jemawa karena merasa memiliki kewenangan absolut, ia sebenarnya sedang membangun tembok yang mengisolasi dirinya dari realitas.

Padahal, informasi dan masukan dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk kritik dari media, adalah nutrisi yang menjaga kebijakan agar tetap berpijak pada bumi. Kesombongan hanya akan melahirkan kebijakan yang buta warna terhadap kebutuhan rakyat yang sebenarnya.

Hal yang paling sering terlupakan oleh mereka yang sedang berada di puncak kekuasaan adalah sifat temporer dari jabatan itu sendiri. Tidak ada pangkat yang abadi dan tidak ada kursi yang tidak akan berganti penghuni. Setiap pejabat pasti akan menemui titik akhir, entah itu karena rotasi jabatan, masa purnatugas, atau pensiun.

 Jabatan hanyalah sebuah atribut pinjaman yang pada waktu yang ditentukan harus dikembalikan kepada negara. Jika selama menjabat seseorang hanya mengandalkan ketakutan orang lain untuk mendapatkan rasa hormat, maka ia akan mendapati dirinya berdiri di ruang hampa begitu atribut itu dilepas.

Pejabat yang cenderung sombong dan eksklusif biasanya merupakan kandidat utama yang akan terjebak dalam pusaran post power syndrome saat masa jabatannya berakhir. Ketidaksiapan mental untuk menjadi warga biasa kembali sering kali berakar dari pola pikir yang salah selama menjabat. 

Mereka yang terbiasa disanjung dan dilayani secara berlebihan akan merasa kehilangan arah saat semua fasilitas dan penghormatan formal itu hilang dalam sekejap.

Tanpa komunikasi yang baik selama menjabat, mereka akan mendapati bahwa lingkungan sosial yang dulu mengelilinginya hanyalah kerumunan orang yang berkepentingan, bukan sahabat atau kolega yang tulus menghargai kepribadian mereka.

Oleh karena itu, indikator keberhasilan seorang pejabat tidak boleh hanya diukur dari banyaknya piagam penghargaan yang terpampang di dinding kantor atau keberhasilan menyerap anggaran tepat waktu. Keberhasilan yang hakiki baru akan terlihat justru saat pejabat tersebut sudah tidak lagi memegang tongkat komando.

Saat ia kembali ke tengah masyarakat tanpa seragam, tanpa ajudan, dan tanpa kewenangan formal, namun orang-orang masih menaruh hormat yang tulus kepadanya, itulah prestasi yang sebenarnya. Hormat yang lahir dari nurani masyarakat jauh lebih mahal harganya dibandingkan hormat yang lahir dari rasa takut atau tuntutan protokoler.

Memasuki tahun-tahun mendatang, khususnya menyongsong fajar tahun 2026, kita semua menaruh harapan besar pada transformasi mental para pemegang kebijakan. Harapannya, pada tahun 2026 nanti, kita tidak lagi menemukan sosok pejabat yang angkuh atau sulit ditembus oleh aspirasi rakyat. Kita mendambakan era di mana integritas menyatu dengan keramahan, dan ketegasan hukum bersanding dengan kepedulian sosial. 

Tahun 2026 seharusnya menjadi momentum di mana birokrasi kita benar-benar "membumi", di mana setiap ASN dan APH menyadari bahwa esensi tertinggi dari jabatan adalah kemudahan yang mereka berikan kepada orang lain, bukan hambatan yang mereka ciptakan lewat ego pribadi.

Pada akhirnya, masa bekerja adalah waktu untuk menanam benih kebaikan yang akan dipanen di masa tua. Menjadi pejabat yang rendah hati dan komunikatif tidak akan mengurangi wibawa sedikit pun; justru sebaliknya, keramahan akan memancarkan wibawa yang lebih alami dan bertahan lama. 

Keberhasilan seorang abdi negara adalah ketika ia bisa mengakhiri masa pengabdiannya dengan kepala tegak, meninggalkan jejak manfaat bagi banyak orang, dan tetap menjadi sosok yang dicintai meski sudah tidak lagi menjadi apa-apa di mata birokrasi. Ingatlah bahwa sejarah tidak akan mencatat seberapa tinggi pangkat Anda, tetapi seberapa besar manfaat dan kebaikan yang Anda tinggalkan bagi sesama.

*) Fajar Rianto merupakan Jurnalis Ketik.com Biro Yogyakarta

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Fajar Rianto