KETIK, SURABAYA – Di tengah gempuran media digital, bahasa Jawa semakin jarang digunakan di kalangan generasi muda. Banyak anak muda yang hanya bisa menggunakan ngoko bahkan ada juga yang tidak bisa sama sekali padahal lahir dan besar di Jawa.
Namun, majalah Jaya Baya hadir sebagai salah satu media yang konsisten menjaga eksistensi bahasa Jawa di era modern.
Pamong utama majalah Jaya Baya, Sudirman, mengatakan bahwa Jaya Baya pertama kali terbit pada 1 Desember 1945, tepatnya di Kediri. Majalah ini merupakan majalah mingguan dan menggunakan bahasa Jawa madya di setiap terbitannya.
“Meskipun awal diterbitkan di Kediri, kini kantor pusatnya terletak di Surabaya dan persebaran majalahnya cukup luas, Jaya Baya sudah tersebar di sebagian wilayah Jawa Timur, hingga Solo, Semarang, bahkan Jogja,” ujarnya.
Di Surabaya, Jaya Baya dapat dibeli di lapak-lapak koran di Surabaya, lebih spesifiknya bursa koran di daerah Jl. Pahlawan, lalu lapak koran RSI, bahkan bisa langsung ke kantornya sekaligus mempelajari tentang majalah Jaya Baya sendiri. Tidak hanya itu, majalah Jaya Baya juga dapat dibeli dari luar Jawa melalui pengiriman pos.
Tidak ingin ketinggalan zaman, meskipun dimuat dalam bahasa Jawa, majalah Jaya Baya juga mengangkat isu-isu terkini seputar lifestyle, budaya pop, dan teknologi masa kini.
“Kita sebagai penerbit, kita harus mengikuti, tapi disesuaikan dengan porsi atau misi dari majalah Jaya Baya. Artinya, jika ada (berita) yang pop kita ambil, tapi disesuaikan dengan pembaca Jaya Baya yang sudah mengakar,” tutur Abah Dirman, sapaan akrabnya.
Dalam isinya, majalah Jaya Baya memuat banyak segmen di dalamnya, dari seputar sejarah dan budaya Jawa, hingga segmen cerita yang beragam macam, seperti cerita romansa, sejarah, cerita pendek dan cerita bersambung.
Selain itu, ada pula segmen yang fun seperti ‘Sayembara JB’ yang memuat teka-teki silang (TTS) dan juga ‘Bintangmu’ yang memuat ramalan zodiak di dalamnya.
Majalah Jaya Baya juga menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan majalah cetak sekaligus melestarikan bahasa Jawa di era modern ini. Salah satu tantangannya adalah generasi muda yang bisa berbahasa Jawa namun hanya menguasai bahasa Jawa ngoko dan kurangnya minat terhadap bahasa Jawa.
Salah satu strategi yang dilakukan oleh Jaya Baya dalam menghadapi tantangan yakni bekerja sama dengan sanggar-sanggar hingga sekolah-sekolah. Namun, tidak sekadar berlangganan saja, tapi juga memberi ruang untuk siswa SD agar dapat merasakan pengalaman menulis di majalah.
Uniknya, para siswa SD ini dibebaskan untuk menulis menggunakan bahasanya sendiri, lalu akan disempurnakan oleh tim redaksi Jaya Baya. Tidak hanya itu, tulisan tersebut juga tidak gratis, mereka yang tertarik untuk menulis akan diberi honor. Strategi ini dapat memberi pengalaman menyenangkan untuk anak-anak, sekaligus meningkatkan minat generasi muda untuk menulis bahasa Jawa.
Lalu menurut Abah Dirman, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah bahasa Jawa yang memiliki ciri khas seperti perbedaan dalam ucapan dan penulisan.
“Contohnya, kalau dalam perkataan (kata) ‘kota’ itu ditulis K-O-T-A, tapi kalau di dalam bahasa Jawa, K-U-T-H-A, (dibaca) kutho, harus gitu.” papar Abah Dirman, hal tersebut menjelaskan, bahwa meskipun sudah fasih berbahasa Jawa, masih harus tetap belajar dan juga fokus.
Upaya yang dilakukan majalah Jaya Baya menunjukkan bahwa pelestarian bahasa Jawa bukan hanya soal menjaga tradisi, tetapi juga menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.
Dengan mengangkat tema yang relevan, melibatkan generasi muda untuk ikut menulis, hingga mempertahankan format cetak di tengah dominasi media digital, Jaya Baya menjadi bukti bahwa bahasa Jawa masih bisa hidup dan berkembang. (*)