Bukan Warisan Nenek Moyang, Evolusi Elf on the Shelf Menjadi Tradisi Natal Modern

26 Desember 2025 14:00 26 Des 2025 14:00

Thumbnail Bukan Warisan Nenek Moyang, Evolusi Elf on the Shelf Menjadi Tradisi Natal Modern
Ilustrasi Elf on the Shelf (Foto: Pexels)

KETIK, SURABAYA – Bayangkan sebuah tradisi yang terasa seolah sudah ada sejak zaman kakek-nenek kita, padahal usianya lebih muda daripada tahun perilisan film Home Alone pertama, bahkan lebih muda dari YouTube?!

Itulah Elf on the Shelf. Di setiap bulan Desember, jutaan pasang mata kecil berwarna biru menatap dari rak buku, gantungan lampu, hingga dalam kulkas di rumah-rumah di berbagai belahan dunia.

Namun, di balik senyum kaku boneka berbaju merah ini, tersimpan fenomena unik tentang bagaimana sebuah ‘tradisi’ dapat diciptakan di zaman modern.

Berbeda dengan Sinterklas yang berasal dari legenda Santo Nikolas abad ke-4, Elf on the Shelf lahir di sebuah meja makan di Georgia, Amerika Serikat, pada tahun 2004.

Carol Aebersold dan putrinya, Chanda Bell, tidak sedang mencoba mengubah dunia atau menciptakan tradisi baru, mereka hanya ingin membagikan kebiasaan kecil keluarga mereka yang suka menaruh boneka elf sebagai ‘utusan Santa’.

Awalnya, tidak ada penerbit yang mau melirik ide ini. Mereka akhirnya menerbitkannya sendiri (self-publishing) pada tahun 2005.

Siapa sangka, buku yang disertai boneka ini berubah menjadi bisnis bernilai jutaan dolar! Ini adalah bukti nyata bahwa di era sekarang, sebuah tradisi tidak butuh waktu berabad-abad untuk berakar, namun membutuhkan narasi yang kuat dan pemasaran yang tepat.

Apa yang membuat Elf ini meledak bukan hanya bukunya, melainkan media sosial yang fokus terhadap unggahan gambar seperti Instagram dan Pinterest. 

Elf ini bukan sekadar boneka diam. Di tangan orang tua yang kreatif (bahkan yang kompetitif), si Elf bisa ditemukan sedang memancing di wastafel, terjebak di dalam toples kue, atau bahkan melakukan yoga dengan marshmallow.

Bagi banyak orang tua, ini adalah cara menghidupkan keajaiban Natal. Namun, bagi sebagian lainnya, ini menjadi sumber tekanan baru, sebuah tugas harian tambahan untuk menciptakan skenario lucu setiap malam selama 24 hari. 

Secara narasi, Elf ini punya tugas serius: menjadi mata-mata Santa Claus. Dia mengawasi perilaku anak-anak dan melaporkannya ke Kutub Utara. Di sinilah letak keunikannya secara sosiologis.

Beberapa kritikus menyebut ini sebagai pengenalan dini terhadap budaya pengawasan (surveillance culture) kepada anak-anak, ide bahwa ada seseorang yang selalu mengawasi, bahkan saat kita di rumah. 

Namun bagi anak-anak, aturannya sederhana: “Jangan sentuh si Elf, atau keajaibannya hilang.” Aturan ini menciptakan batasan yang menarik antara dunia nyata dan dunia imajinasi.

Meskipun baru berusia dua dekade, Elf on the Shelf telah mengukuhkan posisinya berdampingan dengan tradisi kuno lainnya. 

Tradisi unik ini menunjukkan bahwa manusia modern masih haus akan ritual dan keajaiban, meskipun keajaiban itu datang dalam kotak kemasan pabrik.

Malam 24 Desember, adalah malam terakhir si Elf bertugas sebelum ia terbang kembali ke Kutub Utara sampai tahun depan. 

Elf akan meninggalkan rumah yang berantakan dengan remah biskuit atau tumpahan susu, tapi tidak hanya itu, sama seperti Santa Claus, Elf juga meninggalkan memori masa kecil yang terasa sangat nyata bagi mereka yang mempercayainya. (*)

Tombol Google News

Tags:

Elf on the shelf Natal Tradisi elf Nataru Christmas