Isu "Sogok-Menyogok" di Rekrutmen Perangkat Desa

16 Desember 2025 10:45 16 Des 2025 10:45

Thumbnail Isu "Sogok-Menyogok" di Rekrutmen Perangkat Desa
Nurani Soyomukti*)

Saya awalnya mengira fenomena rekrutmen perangkat desa dengan melibatkan tindakan “sogok-menyogok” itu  sudah tidak ada sejak beberapa tahun terakhir ini. Terutama saya tahu sendiri bahwa ada teman dan saudara yang lolos tes perangkat desa tanpa uang sepeserpun, kecuali biaya sukuran di desa. 

Waktu itu, adhik ipar saya, yang benar-benar anak orang tidak punya uang dan punya orangtua yang tidak mampu, tapi memang anaknya cerdas dan suka organisasi, suatu ketika ikut tes perangkat desa dan lolos. Kesimpulan saya, “Oh, ternyata sekarang sudah mulai fair rekrutmen perangkat desa!”

Saya menyimpulkan, barangkali semua desa memang sudah jujur dan adil dalam melakukan rekrutmen perangkat desa. Bahkan itulah yang membuat saya mulai tertarik untuk mempelajari situasi ekonomi, sosial-dan politik di desa. Saya manfaatkan pergaulan saya dengan orang-orang di berbaga desa, untuk tanya-tanya tentang seluk-belk keberdesaan. Saya membaca undang-undang desa dan peraturan-peraturan turunannya. Di samping waktu itu memang  waktu masih menjabat sebagai pimpinan di lembaga penyelenggara Pemilu, saya sering berinteraksi dengan para pegiat di desa.

Dan akhirnya informasi tentang rekrutmen perangkat desa tak lagi tunggal. Ada yang mengatakan bahwa masih ada di desanya “permainan” dalam rekrutmen aparat pemerintahan desa itu. Tapi saya belum percaya seratus persen juga. Apalagi yang bercerita adalah anak muda yang tidak lolos tes perangkat desa. Bisa jadi ia menuduh saja untuk melampiaskan sakit hatinya karena gagal berkompetisi. Misalnya ia bercerita bahwa yang lolos tes dan terpilih jadi perangkat adalah keponakannya kades, seorang anak pengusaha kaya. “Pada hal anaknya bodoh, jarang bergaul, gak pernah ikut organisasi, bahkan gak begitu dikenal karena sejak lulus kuliah hanya di dalam rumah terus.”

Kecurigaan terhadap “curang”-nya rekrutmen perangkat desa memang rata-rata datang dari kompetitor lain yang tak lolos. Ada kejadian yang diberitakan media, para peserta tes yang tidak lolos mengungkapkan kecurigaannya bahwa tes dilakukan secara tidak adil dan transparan. Bahkan ada yang lapor ke polisi. 

Meski membaca dan melihat berita-berita tentang kecurangan tes perangkat desa di berbagai media, saya masih tidak percaya bahwa kebanyakan desa seperti itu. Saya malah beranggapan, itu kasuistik saja. Artinya, tidak semua desa seperti itu, paling hanya beberapa desa saja. Toh, tiap berita dan pernyataan yang mencurigai atau menuduh terjadinya kecurangan, tidak disertai bukti dan belum terbukti. 

Kira-kira kesimpulan saya adalah: Bisa jadi ada desa yang rekrutmen perangkatnya diwarnai kecurangan, tapi masih banyak desa yang tidak seperti itu. Itu yang saya pegang di keyakinan saya.

Hanya saja, semakin ke “sini”, tiap saya mendengar dan mengikuti obrolan tentang rekrutmen perangkat desa, hampir tidak ada yang bernada kecurigaan. “Alah ya ora mungkin yen ora gawe duit!”, begitu kebanyakan mereka berkata. Akhirnya saya menyadari bahwa opini publik di masyarakat mengarah pada keyakinan publik yang diwakili dengan pernyataan seorang teman: “Apa ada jaman sekarang untuk jadi pejabat gak pakai duit!”

Tentu saja saya beranggapan bahwa itu tetaplah merupakan generalisasi—kalau bukan simplifikasi! Dan ketika ketika saya pernah berkata  bahwa masih ada yang tidak diwarnai “permainan”, seorang teman justru berani bersumpah dengan pernyataannya yang justru bertolak belakang dengan anggapan saya:   “Saya justru tidak percaya jika sudah tidak ada lagi tradisi jual-beli  jabatan  perangkat  desa itu!”

Sejak tiga tahun lalu, ketika ada seorang yang mengaku bahwa adhiknya yang jadi perangkat desa “pakek duit”, keyakinan saya bahwa sudah tidak ada lagi jual-beli jabatan perangkat desa mulai luntur. Meskipun tidak tahu langsung, bukan pelaku nyogok atau penerima sogokan, bukan tukang mengeksekusi duit yang diberikan, akhirnya saya mulai percaya. Bukan dengan kebenaran empiris alias kebenaran yang didasarkan pada fakta yang dilihat atau dialami, tapi masih berdasarkan “jarene” atau cerita orang lain.

Saya sempat bertanya dalam batin saya: Perlukah saya berpikir posotif saja? Tentu tidak. Ada seseorang yang pernah bilang, “Jangan berpikir negatif. ‘Positive thinking’ ajalah, biar tidak tambah ruwet!”

Mohon maaf, saya bukan tipe orang yang suka ruwet dan berpikir ruwet. Saya terbiasa berpikir mengurai. Dan saya telah lama mengurai secara kritis konsep “berpikir positif” itu. Memangnya, dengan berpikir positif seolah tidak terjadi apa-apa, masalah akan berkurang keruwetannya?

Sifat ”ruwet” yang dimaksud adalah keadaan yang dipersepsikan di pikiran seseorang. Bagaimana jika otaknya jarang digunakan untuk mikir, sehingga ada masalah sedikit aja ruwet—apalagi masalah yang besar. Kadang orang itu  takut untuk mengetahui jika ada masalah. Makanya ia merasa lebih baik tidak tahu. Karena kalau tahu bahwa keadaannya memang semakin gawat, ia tak akan bisa menampung keruwetan itu dalam otaknya. 

Makanya, ia menyangkal fakta, karena takut kebenaran. Bisa dibayangkan yang terjadi dalam diri orang-orang yang seringkali latihan psikologis dalam menyangkal kebenaran. Ketidaktahuan yang bertumpuk pada fakta-fakta akan menyebabkan ia tumbuh dengan tingkat penyangkalan yang kian akut terhadap kebenaran. 

Barangkali inilah yang menyebabkan kenapa semakin banyak orang cuek pada realitas sosial. Paling banter komentarnya adalah: Serahkan pada Tuhan, karena Dialah yang mengatur segalanya. Ia tak mau mencari penjelasan tentang yang sedang terjadi, tentang penyebab masalah yang ada. Karakter inilah yang dominan dalam bangsa kita, bangsa yang ditimbuni berbagi masalah, tetapi masalah bukannya diurai keruwetannya, tapi semakin banyak orang-orang yang mengajak untuk melupakannya dan menyangkalnya.

Anda tahu, kenapa hal itu terjadi? (Anda harus tahu biar Anda tak mengira bahwa suatu watak itu tidak terjadi dengan sendirinya, tapi ada sebab-sebabnya).

Para budak adalah pihak yang tertindas dan terpenjara. Mereka melakukan sesuatu hal karena (perintah) atasan. Dia menerima perintah-perintah dari atas, masukan-masukan pemikiran dari atas, wacana-wacana dari atas. Dan kebanyakan budak ini tak mempertanyakan perintah-perintah itu karena baginya yang berada dalam hubungan  perbudakan (‘slavery’) percuma mempertanyakan. Ketika anda merasa bahwa tindakan yang anda lakukan tak berguna, biasanya ada mekanisme psikologis dalam diri anda yang membuat anda malas untuk bertindak.

Berbeda dengan era perbudakan, kita sudah berada di jaman modern. Kita berada di negara yang demokratis dan terbuka juga. Ada jaminan bagi kita untuk berpikir dan bertindak apa saja selama tindakan kita tidak merugikan orang lain. Ruang demokrasi yang terbuka ini seharusnya membuat kita terbebaskan dari penjajahan dan perbudakan—baik perbudakan fisik atau pikiran.

Jika tidak mau diperbudak, dalam penjajahan fisik maupun absurditas (kebodohan), maka kita harus bangkit. Kita balik situasi, dari menjadi penerima wacana-wacana, perintah, dan ide-ide dari atas yang datang ke kepala kita tanpa pertanyaan. Kita mulai berfikir dari samping dan bawah. Berpikir dari samping artinya menyerap semua informasi dan mengujinya dengan fakta di sekeliling kita. Menambah wawasan dan pengetahuan, melatih otak dan pikiran dengan gerak dan tindak mencari pengetahuan.

Lalu?

Iya, saya akhirnya percaya dan sadar bahwa Indonesia, terutama desa, sedang tidak baik-baik saja. Saya percaya bahwa permainan dan kecurangan dalam rekrutmen tes perangkat desa itu ada dan banyak terjadi. Tapi ketika menuduh, maka perlu bukti kuat. Bagi mereka yang merasa diperlakukan tidak adil, kumpulkanlah bukti-bukti dan perjuangkan untuk membuktikan bahwa terjadi ketidakadilan. Lalu kemudian semua mata akan melihat bahwa memang tidak terjadi ketidakadilan, dan alangkah baiknya kalau hal itu membuat banyak orang untuk tergerak untuk menghancurkan hal yang tidak pantas ada dan dilestarikan.

Yang disayangkan, isu sebatas isu. Kalau ada kecurigaan dan tuduhan, hanya terungkap sebagai opini. Hanya jadi konsumsi media massa, viral sebentar lalu tertutup berita lain. Tapi tidak ada kelanjutannya. Terkesan, yang menuduh dan mencurigai tidak punya energi besar untuk memperpanjang ketidakpuasan yang bisa berujung pada upaya melawan apa yang menjadi masalah dan penyakit. Isu ketidakterbukaan dan kecurangan di tes perangkat desa seringkali kita dengar, tapi ya menguap begitu saja. Seperti luapan ekspresi para peserta tes yang tidak jadi.

*) Nurani Soyomukti, pendiri INDEK (Institute Demokrasi dan Keberdesaan), sedang “nyantri” di pasca-sarjana Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, jurusan Akidah Filsafat Islam.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

 

Tombol Google News

Tags:

isu SOGOK perangkat DESA