Isu Pertalite Brebet: Antara Fakta Teknis, Elite Capture Politic dan Pentingnya Verifikasi Publik

31 Oktober 2025 15:37 31 Okt 2025 15:37

Thumbnail Isu Pertalite Brebet: Antara Fakta Teknis, Elite Capture Politic dan Pentingnya Verifikasi Publik
Oleh: Muhsin Budiono Nurhadi*

Keresahan yang melanda masyarakat Jawa Timur terkait kualitas bahan bakar Pertalite beberapa hari terakhir telah menjadi perhatian publik yang serius. Ratusan laporan yang masuk, salah satunya melalui Radio SS Suara Surabaya, mengenai gejala kendaraan 'brebet' hingga mogok setelah mengisi BBM, bukan sekadar keluhan iseng. Ini merupakan indikasi nyata adanya masalah yang harus ditindaklanjuti secara cepat, transparan, dan akuntabel oleh pihak terkait.

Reaksi cepat Pertamina untuk melakukan pengecekan laboratorium terhadap sampel Pertalite dari berbagai SPBU, menelusuri rantai distribusi, hingga Terminal bahan bakar adalah langkah yang patut diapresiasi. Ini menunjukkan keseriusan perusahaan negara dalam memegang tanggung jawab dan komitmen menjaga kualitas produk yang disalurkan.

Meski demikian, di tengah proses penyelidikan teknis, isu sensitif bahan bakar selalu membuka celah bagi munculnya "penumpang gelap" yang ingin menunggangi situasi. Isu energi, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, adalah senjata politik dan ekonomi yang sangat efektif untuk mengguncang stabilitas.

Kasus SPBU Rajawali: Peringatan Keras terhadap Manipulasi Informasi

Sebagai salah satu warga Jawa timur yang besar dan tinggal di metropolitan Surabaya, gejolak ini dirasa telah melampaui masalah teknis. 

Dugaan manipulasi publik kian menguat seiring dengan temuan kontroversial di SPBU Rajawali Surabaya kemarin, 30 Oktober 2025. Saat itu Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji (Cak Muji), menjadi viral setelah video sidaknya yang menunjukkan terkaan Pertalite tercampur air di SPBU Rajawali beredar luas.

Temuan pejabat publik ini, tentu sangat meresahkan. Namun, terdapat informasi lanjutan yang perlu menjadi titik fokus kewaspadaan publik dimana setelah penelusuran mendalam dari rekaman kamera CCTV SPBU, diduga kuat bahwa sampel BBM yang ditunjukkan oleh oknum pengendara motor dalam peristiwa tersebut ternyata bukan berasal dari dispenser SPBU Rajawali. Sampel botol plastik berisi Pertalite bercampur air diduga telah disiapkan sebelumnya dan dibawa oleh seseorang yang turut mengantri di lajur roda dua SPBU.

Diakui atau tidak, insiden di SPBU Rajawali merupakan case study sempurna mengenai bagaimana sebuah fakta teknis (adanya keluhan brebet) dapat dengan cepat ditumpangi oleh aksi manipulatif yang bertujuan mengarahkan opini publik pada kesimpulan yang sudah ditentukan: Pertamina buruk, Pertamina biang kerok kekacauan BBM. 

Ketika seorang pejabat publik tanpa sengaja (ataupun sengaja) menjadi corong bagi sampel yang dipertanyakan keasliannya, gejolak dan hilangnya kepercayaan publik atas Pertamina menjadi tak terhindarkan.

Respons Teknis dan Sabotase Narasi

Penting untuk mengakui bahwa keluhan-keluhan masyarakat terkait kendala kendaraan setelah mengisi BBM adalah fakta, namun juga harus diakui bila langkah cepat Pertamina melakukan uji laboratorium, investigasi serta pendirian posko-posko pengaduan dan ganti rugi konsumen merupakan wujud tanggung jawab yang optimal. 

Terlebih, Kementerian ESDM bersama Lemigas sebelumnya telah menurunkan tim untuk melakukan pengecekan di sejumlah SPBU lain di Jawa Timur, termasuk Gresik, Surabaya, Malang dan Lamongan. Berdasarkan keterangan pers resmi Kementerian pada 29 Oktober 2025 di Malang, hasil sampel-sampel yang diperiksa dinyatakan kualitasnya sesuai standar dan baik untuk digunakan.

Kasus di SPBU Rajawali Surabaya, semestinya menjadi peak point of awareness kita semua setelah beberapa waktu sebelumnya muncul video viral terkait Pertalite campur etanol dengan kandungan hingga 50 persen, serta video tentang octane number tak sesuai yang diukur menggunakan alat sederhana bersifat portable.

Temuan Pertalite campur air yang diangkat ke mass media oleh pejabat publik setempat -yang kemudian terindikasi berasal dari sampel hasil pengkondisian (bukan langsung dari dispenser SPBU)- patut dibaca sebagai upaya provokasi yang disengaja.

Dalam konteks manajemen risiko dan keamanan, perilaku ini sejalan dengan Organizational Sabotage yang menjelaskan bagaimana kelompok luar/eksternal dapat melakukan tindakan yang disengaja untuk merusak sistem atau reputasi suatu organisasi (dalam hal ini, Pertamina).

Sabotase bukan hanya yang merusak physical facilities, tetapi juga merusak kepercayaan publik (public trust)—sebuah aset tak ternilai bagi perusahaan strategis. Karena Pertamina adalah perusahaan negara yang notabene merepresentasikan pemerintah maka merusak citra Pertamina secara cepat dan masif adalah cara efektif untuk menciptakan kerusuhan sosial dan delegitimasi pemerintahan saat ini.

Dimensi Politik: Serangan Balik Elite Capture Migas

67 tahun lebih Pertamina telah menyalurkan BBM berkualitas ke seluruh nusantara relatif tanpa cela ataupun pemberitaan miring terkait mutu, namun mengapa upaya sabotase narasi ini baru muncul sekarang dan begitu terorganisir?

Bukan hanya produksi meme dan video hoax terkait kualitas BBM Pertamina, namun produksi atribut seragam seperti kaos dan topi bersablonkan logo Pertamina diikuti tulisan Penipu (Logo P adalah Penipu) mulai santer beredar di masyarakat dan e-commerce.

Bila diperhatikan lebih jauh, rentetan kejadian-kejadian ini muncul di tengah upaya keras kepemimpinan Prabowo Subianto untuk menata ulang tata kelola migas dan memerangi mafia didalamnya. Hal ini memaksa kita bertanya: Apakah semua ini kebetulan, ataukah sebuah upaya terstruktur untuk mendelegitimasi benteng energi negara?

Pertaruhan disini jauh lebih besar daripada sekadar mesin kendaraan yang tersendat: ini adalah pertarungan antara kedaulatan energi nasional melawan serangan balik terencana dari pihak-pihak yang kepentingannya terganggu. Ini terjadi karena Pertamina adalah instrumen utama negara dalam agenda pembersihan mafia migas.

Kepemimpinan Prabowo saat ini sedang gencar melakukan penataan ulang tata kelola migas, sebuah langkah yang secara langsung mengancam para pemain lama yang selama ini menikmati rente ekonomi dari inefisiensi dan celah regulasi. 

Mafia Migas merupakan bagian dari Teori Elite Capture dalam Sektor Sumber Daya Alam, di mana kelompok elit memanfaatkan kelemahan institusi untuk keuntungan pribadi (Taiwo, 2022). Ketika keuntungan super mereka terancam oleh kebijakan transparan, mereka akan menyerang balik.

Logika serangan balik ini sangat strategis: Jika Pertamina sebagai penyalur utama BBM bersubsidi berhasil direndahkan citranya dan dianggap gagal, maka narasi yang terbentuk adalah "Pemerintah gagal mengelola sektor energi". 

Kegagalan ini menciptakan kerentanan yang diincar mafia migas, yang ingin agar peran Pertamina sebagai perwujudan kedaulatan energi perlahan-lahan tersingkir dari kepercayaan masyarakat.

Menjaga Stabilitas: Kepala Dingin dan Penegakan Hukum

Untuk meredam gejolak yang semakin menjadi dan memenangkan pertarungan narasi, Pemerintah dan Pertamina harus bertindak tegas berdasarkan fakta.

Pertama, prioritaskan transparansi data. Hanya hasil uji laboratorium resmi dari institusi yang kredibel (seperti auditor independen dan Lemigas) yang dapat mengakhiri spekulasi. Publikasi data ini secara terbuka adalah bukti akuntabilitas dan satu-satunya cara melawan hoax.

Kedua, ganti rugi dan komitmen. Pertamina perlu menerapkan skema ganti rugi yang cepat dan mudah bagi konsumen yang terbukti dirugikan. Ini menjadikan tanggung jawab pelayanan lebih penting daripada sekadar pembelaan citra perusahaan.

Ketiga, tindak pidana untuk provokator. Aparat penegak hukum harus menginvestigasi dua lini terpisah: (1) Pelaku kontaminasi teknis (jika ada) dan (2) Aktor intelektual di balik dugaan manipulasi narasi (kasus semacam SPBU Rajawali dan lainnya). 

Bila terbukti adanya upaya memfitnah atau provokasi, maka pelaku harus ditindak tegas menggunakan Undang-Undang ITE. Ini menunjukkan bahwa negara tidak mentolerir upaya sabotase kepercayaan publik.

Keempat, Pertamina perlu melakukan upaya-upaya edukasi yang lebih masif (baik jangka pendek maupun jangka panjang) kepada masyarakat dalam memahami kualitas dan jaminan mutu produk BBM secara komprehensif.

Masyarakat berhak kritis dan waspada, namun kita tidak boleh membiarkan keresahan yang valid dijadikan alat politis untuk memecah kepercayaan terhadap lembaga negara. Isu Pertalite ini telah membuktikan bahwa upaya pembersihan mafia migas membutuhkan dukungan publik yang utuh.

Mari kita bersikap cerdas, berpegangan pada data, dan tidak terjebak dalam perang narasi yang dirancang untuk merusak kepercayaan kita pada Pertamina—sebuah perusahaan energi strategis negara yang tengah berjuang menuntaskan tugasnya dalam mewujudkan distribusi energi yang berkeadilan dan kemandirian energi nasional.

*) Muhsin Budiono Nurhadi merupakan General Manager Region V of Centre for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS)

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Muhsin Budiono Nurhadi Pertalite Pertamina