Indonesia Raya adalah lagu paling terkenal di republik ini. Diputar di sekolah, stadion, kantor, televisi, sampai warung kopi yang kebetulan sedang ada live streaming upacara. Semua berdiri tegak. Sebagian sambil khidmat, sebagian lagi diam-diam memeriksa notifikasi HP. Tidak ada yang membantah bahwa lagu ini milik bersama. Yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa penciptanya, Wage Rudolf Supratman, tidak pernah menerima royalti. Bahkan hingga wafat, beliau tidak pernah mencicipi hak ekonomi dari karya yang menjadi napas kebangsaan ini.
LMKN berdiri dengan misi heroik: melindungi hak ekonomi pencipta lagu dan pelaku pertunjukan. Setiap bulan, lembaga ini mengurus penagihan royalti dari kafe, karaoke, hotel, pusat perbelanjaan, hingga acara pernikahan yang memutar musik tanpa izin. Pemilik usaha bisa dapat surat peringatan hanya karena playlist mereka berisi lagu populer. Keren jika dilakukan konsisten. Namun, saat menyentuh Indonesia Raya, LMKN seperti tiba-tiba tuli.
Alasan yang biasa dipakai: lagu kebangsaan tidak untuk dikomersialkan. Kalimat ini terdengar gagah di podium seminar musik, tapi di telinga logika artinya sederhana: “Terima kasih sudah memberikan karya ini gratis, semoga tetap ikhlas.” Undang-undang hak cipta Indonesia menetapkan perlindungan selama 70 tahun setelah pencipta wafat. Selama itu, ahli waris berhak atas manfaat ekonomi. Ketentuan ini berlaku untuk semua karya, kecuali rupanya untuk yang kebetulan dijadikan simbol negara.
Setiap 17 Agustus, Indonesia Raya dinyanyikan serentak di seluruh penjuru negeri. Jumlah pemutaran ini kalau dinilai menggunakan standar industri musik, nilainya bisa membuat sebuah keluarga hidup nyaman hingga tiga generasi. Namun, di sini semua dianggap bagian dari pengabdian. Kalau konsep ini dijadikan standar, sekalian saja minta semua musisi menyerahkan lagunya untuk dipakai negara secara gratis. Biar adil.
LMKN begitu sigap menagih dari pengusaha kecil yang memutar lagu galau di sudut ruangan. Kecepatan itu mendadak melambat saat harus membicarakan penghargaan terhadap pencipta lagu kebangsaan. Menagih royalti untuk Indonesia Raya memang butuh nyali lebih dari sekadar mengirim surat peringatan. Butuh keberanian untuk menyentuh ranah yang dianggap “terlalu sakral” padahal hanya perlu sedikit niat politik.
Bayangkan jika setiap pemutaran resmi Indonesia Raya disertai kontribusi simbolis. Dana tersebut bisa dialokasikan untuk beasiswa musisi daerah, perawatan makam Wage Rudolf Supratman, atau program pendidikan musik nasional. Skema seperti ini tidak akan mengurangi kehormatan lagu kebangsaan. Justru akan menguatkan pesan bahwa bangsa ini tidak hanya pandai memuja simbol, tapi juga menghargai penciptanya secara nyata.
Santri di sekolah saya menyanyikan Indonesia Raya dengan semangat penuh. Wajah mereka memancarkan rasa bangga. Mereka percaya negara ini berdiri di atas penghormatan terhadap jasa para pahlawan. Tidak satu pun yang tahu bahwa penciptanya selama puluhan tahun dibiarkan tanpa penghargaan ekonomi sedikit pun.
LMKN senang berbicara tentang “menghargai pencipta”. Faktanya, pencipta lagu kebangsaan malah tidak masuk daftar prioritas. Lebih mudah memungut dari acara ulang tahun di balai desa daripada menegakkan keadilan untuk karya yang menjadi jiwa bangsa.
Selama LMKN sibuk menghitung setoran dari pesta pernikahan dan room karaoke, Wage Rudolf Supratman tetap terbaring di makamnya tanpa pernah tahu bahwa lagu ciptaannya menjadi lagu wajib seluruh rakyat. Tidak ada royalti, tidak ada penghargaan konkret untuk keluarganya. Hanya ada nama yang diucapkan di buku pelajaran dan pidato upacara.
Kebiasaan bangsa ini memang unik. Simbol diagungkan, penciptanya dilupakan. Dalam biologi, tubuh yang melupakan sistem pendukungnya akan melemah. Dalam negara, perilaku ini membuat akar budaya rapuh. Menghormati lagu kebangsaan seharusnya berarti menghormati penciptanya. Jika tidak, seluruh upacara itu hanya menjadi pertunjukan koreografi massal yang diiringi lagu gratis.
LMKN bisa menagih royalti untuk lagu “Aku, Kamu, dan Kopi” atau musik empat chord yang liriknya klise, namun diam seribu bahasa ketika menyangkut Indonesia Raya. Lembaga ini tampak pandai menghitung uang orang lain, tetapi enggan menghitung hutang moral sendiri.
Setiap tahun, negara menghabiskan miliaran rupiah untuk perayaan kemerdekaan. Anggaran untuk kembang api, panggung hiburan, dan dekorasi bisa menembus angka yang memalukan jika dibandingkan dengan nol rupiah penghargaan kepada pencipta lagu kebangsaan. Sebuah ironi yang terlalu manis untuk diabaikan, tapi terlalu pahit untuk ditelan.
Tidak ada yang menuntut agar Indonesia Raya menjadi lagu komersial. Yang diminta hanyalah pengakuan yang adil. Pengakuan bahwa karya sebesar itu layak mendapatkan penghormatan lebih dari sekadar retorika dan monumen batu. Pengakuan bahwa jasa besar tidak boleh dibiarkan tenggelam di balik alasan “pengabdian” yang terlalu sering digunakan untuk menutupi kelalaian.
Hingga hari ini, LMKN masih punya kesempatan untuk memperbaiki reputasinya. Mulailah dari yang paling sederhana: bicarakan Indonesia Raya, cari skema penghargaan yang pantas, dan tunjukkan bahwa perlindungan hak cipta bukan hanya berlaku untuk lagu-lagu yang bisa diputar di Spotify.
Kalau tidak, 17 Agustus akan terus menjadi pesta penuh simbolisme yang rapuh. Lagu kebangsaan akan terus berkumandang dengan megah, sambil membawa aroma ironi yang hanya bisa dicium oleh mereka yang mau berpikir. Wage Rudolf Supratman akan tetap dikenang sebagai pahlawan musik, tapi juga sebagai contoh paling telanjang tentang bagaimana negara ini memperlakukan penciptanya.
*) Elgi Zulfakar Diniy merupakan Pendidik di Tsurayya Islamic School Malang
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)