Ketika Dunia Terlalu Cepat, Apa yang Masih Layak Diperlambat?

20 November 2025 11:15 20 Nov 2025 11:15

Thumbnail Ketika Dunia Terlalu Cepat, Apa yang Masih Layak Diperlambat?
Oleh: Muhammad Ali Wafa*

Perkembangan zaman yang semakin pesat tentu saja memberikan kemudahan kepada manusia dalam mengeksplorasi banyak hal. Mulai dari hal yang bersifat abstrak hingga konkret. Kenyataan ini bukan tanpa dasar, tentu saja dengan bukti empiris yang kian hangat dari waktu ke waktu. 

Seorang Mahasiswa dulu bisa bangga jika merasa bangga menyelesaikan satu buku tebal dalam seminggu, membacanya berulang, dan menuliskan catatan di pinggir halaman. Tapi kini, ternyata teknologi bisa menyarikan 300 halaman dalam 3 menit, memang memudahkan, cepat, tepat dan efisien namun justru membuat pembacanya menjadi asing pada isi buku itu.

Sore ini, aku baru saja mendengar cuplikan video di sebuah acara. Seseorang yang mengutip salah satu statement dari seorang tokoh Psikologi Eksistensial bernama Rollo May, (mahasiswa psikologi pasti tidak asing dengan nama ini).

Dia mengatakan menyatakan bahwa di tahun 50 an Rollo May berkata bahwa akan tiba satu masa bahwa generasi muda akan sangat mudah sekali terpengaruh oleh dunia eksternal, kemajuan zaman dan kemudahan teknologi bukan hanya memudahkan, tapi memberikan efek samping berupa hilangnya rasa ingin tahu generasi muda.

Mereka tidak lagi wondering pada sains, tidak lagi wondering pada pengetahuan, dan tentu saja, minat baca yang semakin turun dan berubah menjadi kebiasan menerima informasi secara instan. 

Cobalah bayangkan, dulu Nabi Muhammad sampai berbulan-bulan ber-tahannuts di gua Hira demi mendapatkan kebenaran. Para filsuf bermeditasi selama berhari-hari sehingga tercipta sebuah konsep realitas sebagai dasar berpikir rasional. 

Para ilmuwan berdebat tiap hari demi menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang independen. Kini tergantikan dengan mudahnya oleh teknologi yang kian maju. Bukan main, bahkan ada salah satu platform terbaru yang bernama Agentic AI yang mampu mengambil keputusan dan menjalankan tugas secara mandiri untuk menyelesaikan tujuan tertentu.

Refleksi tentang Apa sebenarnya yang hilang ketika segala sesuatu menjadi serba cepat sangat diperlukan. Tentang bagaimana mungkin ilmuwan zaman dahulu bisa menemukan berbagai asumsi yang membentuk sebuah pemahaman sehingga terbentuk sebuah disiplin ilmu yang utuh? Padahal di era itu tidak ada teknologi yang luar biasa canggih seperti hari ini.

Bagaimana di kala itu tidak ada google book, google scholar bahkan Artificial Intelligence yang maha canggih itu, para ilmuwan bisa sangat cerdas dan hafal setiap bagian dari ilmu yang dipelajarinya. Ada peribahasa menarik bahwa “Yang tertoreh di batu menantang waktu, yang tertulis di air lenyap sebelum dibaca”.

Membaca buku memang sulit dan membosankan, namun tanpa membaca. Ilmumu akan hilang dengan mudah. Ungkapan Najwa Shihab justru lebih romantis lagi “Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu. Mari jatuh cinta.” 

*) Muhammad Ali Wafa merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Muhammad Ali Wafa