Bayangkan Anda baru saja ingin melapor pajak, tetapi harus berhadapan dengan sederet formulir, kode unik, hingga sistem yang membingungkan. Niatnya ingin taat, tapi prosesnya justru memakan waktu, tenaga, dan bahkan biaya tambahan.
Inilah yang disebut biaya kepatuhan pajak, yaitu biaya yang tidak selalu terlihat, tetapi nyata dirasakan setiap tahun oleh wajib pajak. Di tengah kebutuhan untuk menyederhanakan proses yang selama ini dianggap melelahkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan CoreTax System sebagai jantung dari reformasi administrasi perpajakan di Indonesia.
Era Baru Pajak Digital: Janji dan Realitas CoreTax
CoreTax, atau Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018. Dengan anggaran yang kabarnya menelan sekitar Rp1,3 triliun, proyek ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam melakukan digitalisasi perpajakan secara menyeluruh.
Implementasi sistem ini dipertegas oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 yang berlaku mulai 1 Januari 2025. Aturan ini tidak hanya mengukuhkan CoreTax, tetapi juga mencabut hingga 42 regulasi lama sebagai upaya penyederhanaan.
Komitmen ini bahkan ditegaskan langsung oleh pucuk pimpinan negara. Presiden Prabowo Subianto, melalui akun Instagram resmi DJP pada 31 Desember 2024, menyatakan, "Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, saya nyatakan Coretax akan digunakan mulai 1 Januari 2025." Ungkapan ini menjadi simbol dimulainya era baru perpajakan digital di Indonesia.
Namun, pembaruan peraturan ini diikuti satu pertanyaan krusial : mengapa sebagian masyarakat masih belum sepenuhnya yakin pada sistem CoreTax?
Selama bertahun-tahun, wajib pajak sudah terbiasa dengan sistem manual atau platform terpisah seperti e-Filing, e-Bupot, dan DJP Online. Saat semuanya digabung ke dalam satu sistem digital terpadu seperti CoreTax, wajar jika muncul kebutuhan untuk beradaptasi.
Dalam memahami kenapa sebagian wajib pajak masih ragu, kita perlu melihat apa saja yang membentuk biaya kepatuhan pajak. Secara umum, biaya ini muncul dari tiga hal:
1. Biaya Uang Langsung (Direct Money Cost): Hal ini mencakup pengeluaran nyata seperti biaya konsultan pajak, penggunaan software akuntansi, kebutuhan administrasi, sampai denda jika terjadi keterlambatan.
2. Biaya Waktu (Time Cost): Waktu yang habis untuk memahami aturan, menyiapkan dokumen, mengisi formulir, atau melakukan pelaporan pajak.
3. Biaya Psikologis (Psychological Cost): Biaya yang tidak terlihat, seperti stres, rasa cemas, atau kebingungan ketika berhadapan dengan sistem atau aturan yang dianggap rumit.
CoreTax sebenarnya dirancang untuk mengurangi terutama biaya waktu dan biaya psikologis melalui sistem yang lebih terintegrasi dan otomatis.
Namun, keberhasilan pengurangan biaya ini tetap bergantung pada seberapa cepat dan nyaman wajib pajak bisa beradaptasi dengan sistem baru tersebut.
Tantangan Utama dalam Meraih Kepercayaan Wajib Pajak
CoreTax sebenarnya menawarkan banyak manfaat. Dengan sistem yang terintegrasi, pelaporan, pembayaran, dan pengecekan pajak bisa dilakukan dalam satu platform. Interaksi langsung dengan petugas pajak juga berkurang, sehingga proses menjadi lebih objektif dan efisien. Bagi pelaku usaha, terutama perusahaan, sinkronisasi data perpajakan dengan sistem keuangan internal dapat mengurangi beban administrasi. Sementara bagi individu, CoreTax diharapkan membuat proses pajak lebih cepat, mudah, dan transparan.
Namun, tantangan di lapangan masih cukup besar. Belakangan ini, keluhan mengenai kesalahan (error), keterlambatan akses, hingga gangguan pada jam-jam sibuk semakin sering terdengar di berbagai platform media sosial.
Banyak wajib pajak mempertanyakan, bagaimana sistem yang menelan anggaran besar masih menghadapi kendala mendasar semacam ini? Sorotan publik terhadap stabilitas dan kesiapan infrastruktur CoreTax pun semakin kuat, menciptakan ketidaksesuaian antara harapan yang dibentuk oleh investasi besar dan pengalaman nyata pengguna.
Hal ini ditanggapi oleh pemerintah sebagai persoalan teknis yang harus segera diselesaikan. Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menegaskan bahwa hambatan tersebut merupakan persoalan pada bagian teknologi informasi (IT) yang menjadi prioritas perbaikan.
"Saya akan lihat Coretax seperti apa, keterlambatan di Coretax, akan kita perbaiki secepatnya. Dalam satu bulan harusnya bisa. Itu problem-nya IT, nanti saya bawa jago-jago IT dari luar untuk bisa perbaiki itu dengan cepat," ujarnya dalam konferensi pers APBN di Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa perbaikan teknologi menjadi perhatian serius pemerintah dan lembaga terkait untuk memastikan pelayanan perpajakan tidak terhambat.
Kunci Keberhasilan: Membangun Kembali Kepercayaan
Pada akhirnya, keberhasilan CoreTax tidak hanya diukur dari kecanggihan teknologinya, tetapi dari seberapa efektif ia mampu mengurangi Biaya Kepatuhan Pajak, terutama Biaya Psikologis.
Pemerintah perlu terus meningkatkan pelayanan, stabilitas infrastruktur, dan edukasi masif yang fokus pada kemudahan penggunaan. Sementara itu, masyarakat juga perlu mulai beradaptasi dengan inovasi ini.
Reformasi pajak melalui CoreTax bukan hanya soal digitalisasi database, tetapi juga soal membangun kembali rasa percaya. Ketika beban waktu, kebingungan, dan kecemasan wajib pajak berkurang, manfaat dari investasi triliunan rupiah ini akan benar-benar dirasakan sebagai lompatan kemudahan, bukan sekadar penambahan kerumitan baru. (*)
*) Annisa Febriyana Andini adalah mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
