Pemanfaatan jerami sebagai sumber bio-oil menawarkan janji energi terbarukan yang menarik. Jerami tersedia dalam jumlah besar dan selama ini tidak memiliki nilai ekonomi tinggi. Potensi ini memicu harapan publik bahwa Indonesia dapat menghasilkan bahan bakar alternatif secara mandiri. Harapan ini wajar, tetapi efektivitas teknologi yang digunakan tetap perlu dianalisis secara objektif.
Produksi bio-oil melalui pirolisis cepat menghasilkan cairan energi yang volume hasilnya cukup tinggi. Proses pemanasan jerami dalam kondisi tanpa oksigen dapat menghasilkan 40 hingga 60 persen bio-oil dari total berat bahan baku.
Angka ini memberi kesan efisiensi produksi yang memadai di tahap awal. Namun kualitas bio-oil yang dihasilkan masih berada jauh di bawah standar bensin konvensional yang dipakai kendaraan saat ini.
Bio-oil dari jerami memiliki kandungan air dan oksigen yang tinggi. Sifat kimianya belum stabil untuk penyimpanan jangka panjang dan nilai kalorinya relatif rendah. Pemurnian diperlukan agar bio-oil mendekati standar bahan bakar modern. Tahapan pemurnian ini memerlukan energi, katalis, dan fasilitas industri yang kompleks.
Tanpa rangkaian pemurnian yang lengkap, bio-oil tidak dapat disetarakan dengan bensin yang memiliki kualitas pembakaran tinggi. Klaim teoritis musti dilakukan uji laboratorium lalu skala pilot plant, baru dicek skala industrinya.
Proses peningkatan kualitas bio-oil ini mempunyai konsekuensi biaya yang besar. Upgrading melalui hydrotreating atau cracking memerlukan infrastruktur yang setara dengan kilang minyak skala menengah. Investasi untuk membangun fasilitas tersebut tidak kecil.
Operator di lapangan harus memastikan seluruh proses berada dalam kendali ketat agar biaya produksi tetap rasional. Hal ini menentukan apakah bio-oil dapat bersaing dengan bahan bakar fosil di pasar.
Pengelolaan jerami sebagai bahan baku juga menjadi faktor penentu. Jerami memiliki kadar air tinggi dan volume besar sehingga memerlukan upaya pengeringan dan pengurangan ukuran sebelum diproses.
Logistik jerami dari lahan ke fasilitas pirolisis dapat menghabiskan biaya operasional yang signifikan. Efisiensi sistem hanya tercapai jika rantai pasok berjalan terintegrasi dari petani hingga fasilitas produksi.
Pemanfaatan hasil samping seperti syngas dan biochar dapat meningkatkan efisiensi total. Syngas dapat digunakan kembali untuk mendukung proses pemanasan reaktor. Biochar dapat menjadi produk tambahan untuk sektor pertanian.
Nilai tambah ini membantu memperbaiki struktur biaya, tetapi tidak mengubah karakter dasar bio-oil yang tetap memerlukan pemrosesan lanjutan untuk menjadi bahan bakar kendaraan.
Indonesia membutuhkan inovasi energi terbarukan yang realistis. Teknologi pirolisis jerami memberi peluang riset dan pengembangan yang menarik, tetapi klaim kesetaraan bio-oil dengan bensin premium perlu dikaji hati-hati. Publik memerlukan penjelasan jujur mengenai batasan teknis, biaya upgrading, serta kesiapan infrastruktur industri yang diperlukan.
Pengembangan bio-oil dari jerami tetap penting sebagai bagian dari diversifikasi energi. Teknologi ini dapat diarahkan untuk sektor industri atau co-firing pembangkit yang tidak membutuhkan standar setinggi bahan bakar kendaraan.
Pendekatan bertahap ini lebih selaras dengan kondisi teknologi yang tersedia saat ini. Inovasi perlu berjalan dengan evaluasi yang transparan agar pengambilan keputusan energi nasional berbasis pada data dan kapasitas nyata.
*) Muhammad Sirod merupakan Dewan Pakar ASPEBINDO, Wasekjen HKTI
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
