KETIK, PALEMBANG – Upaya hukum mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Prasetyo Boeditjahjono, untuk lolos dari jerat hukum dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan prasarana Light Rail Transit (LRT) Sumatera Selatan senilai Rp74,05 miliar, akhirnya kandas.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang yang diketuai Pitriadi, SH., MH., menolak seluruh eksepsi (nota keberatan) yang diajukan tim penasihat hukum terdakwa.
Dalam amar putusan sela yang dibacakan di ruang sidang Tipikor Palembang, Kamis 13 November 2025, majelis hakim menegaskan bahwa dalil keberatan terdakwa tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Menolak eksepsi penasihat hukum terdakwa dan memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan pokok perkara atas nama terdakwa Prasetyo Boeditjahjono,” tegas hakim Pitriadi.
Dengan putusan sela tersebut, majelis hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melanjutkan persidangan ke tahap pemeriksaan saksi-saksi, yang dijadwalkan berlangsung pada pekan depan.
Sebelumnya, dalam surat dakwaan, jaksa menuduh Prasetyo selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 28 Tahun 2016 telah menyalahgunakan kewenangan dalam proyek pembangunan prasarana LRT Palembang.
Prasetyo diduga berkolusi dengan sejumlah pihak dari perusahaan pelaksana proyek, antara lain Ir. Tukijo, MM (Kepala Divisi Gedung PT Waskita Karya 2015–2016), Ir. Ignatius Joko Herwanto, MM, Ir. Septiawan Andri Purwanto, serta Ir. Bambang Hariadi Wikanta, MM, MT (Direktur Utama PT Perentjana Djaja).
Mereka disebut merekayasa proses penunjukan penyedia jasa dengan menetapkan PT Perentjana Djaja sebagai pelaksana pekerjaan perencanaan teknis tanpa melalui mekanisme seleksi yang sah.
Jaksa juga mengungkap adanya pengondisian proyek dan pembagian fee antara PT Perentjana Djaja dan PT Waskita Karya. Bahkan, sebagian pekerjaan yang tercantum dalam kontrak tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga bertentangan dengan ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah.
“Perbuatan terdakwa telah melanggar prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 84 Tahun 2010 jo Perpres Nomor 4 Tahun 2016,” tegas JPU dalam dakwaannya.
Atas perbuatannya, terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Sidang lanjutan dijadwalkan menghadirkan sejumlah saksi dari pihak Kementerian Perhubungan dan perusahaan terkait untuk mengungkap lebih jauh dugaan praktik korupsi dalam proyek strategis nasional tersebut.(*)
