Marsinah: Pahlawan dari Kampung, Teladan Bagi Buruh dan Bangsa

13 November 2025 20:42 13 Nov 2025 20:42

Thumbnail Marsinah: Pahlawan dari Kampung, Teladan Bagi Buruh dan Bangsa
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan*

Saya memanggilnya “Dik Marsinah.” Ia lahir setahun lebih muda dari saya. Kenangan tentangnya kembali menyeruak saat saya nyantri di Pesantren Nurul Haromain, Pujon, Malang.

Kala itu, kabar kematiannya yang penuh misteri menjadi perbincangan hangat di kalangan para aktivis. Ia bukan sekadar korban kekerasan rezim Orde Baru. Ia adalah simbol keberanian, keteguhan, dan perjuangan kaum buruh yang menolak tunduk pada ketidakadilan.

Marsinah wafat karena disiksa. Ia menuntut hak-hak dasar sebagai buruh, dan karena itu, nyawanya direnggut. Di tahun 1993, media cetak tak berani menyuarakan ketangguhan dan keteguhan Marsinah. Ancaman bredel membungkam pena. Tidak seperti hari ini, ketika semua orang bisa menjadi wartawan online, menyuarakan kebenaran tanpa harus menunggu izin.

Namun sejarah tidak bisa dibungkam selamanya. Pada Hari Pahlawan, Senin 10 November 2025, Pak Prabowo dengan hati yang tulus menetapkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional. Tak ada protes. Tak ada penolakan.

Semua menerima. Berbeda dengan Pak Harto yang gelarnya ditolak oleh para aktivis PDIP. Keputusan Pak Prabowo seolah menegaskan: perjuangan orang desa yang membela martabat buruh adalah perjuangan bangsa.

Gelar itu, bagi Marsinah, mungkin tak berarti banyak jika amal ibadahnya tak mampu menyelamatkan di akhirat. Tapi bagi para aktivis buruh, gelar itu adalah pengingat: bahwa komitmen tak boleh goyah, bahwa perjuangan harus terus menyala.

Saya pun pernah merasakan tekanan penguasa saat terlibat dalam demonstrasi. Dipanggil, diinterogasi, tapi tidak sampai disiksa. Di era Orba, melawan ketidakadilan adalah dosa. Ketidakadilan harus diterima, bukan dilawan. Marsinah menolak tunduk. Ia memilih jalan yang berat, dan karena itu, ia layak dikenang.

Kabar baiknya, keluarga Marsinah kini menerima dana tahunan sebesar lima juta rupiah. Untuk siapa dana itu? Sebaiknya dikembalikan untuk Dik Marsinah. Bisa? Tentu bisa. Mengapa tidak?

Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk. Di tanah kelahirannya, dana itu bisa menjadi amal jariyah. Bisa dibangun mushola kecil di rumah orang tuanya. Mushola Marsinah. Tempat anak-anak desa belajar mengaji.

Guru ngaji digaji dari dana itu. Setiap huruf Al-Qur’an yang dibaca, setiap doa yang dipanjatkan, menjadi kiriman pahala untuk Dik Marsinah. Inilah cara terbaik untuk membantunya di akhirat.

Melanjutkan perjuangan Marsinah bukan hanya soal demonstrasi dan orasi. Tapi juga soal pendidikan. Soal membangun generasi desa yang tahu haknya, tahu martabatnya, dan tahu bahwa keadilan harus diperjuangkan. Mushola Marsinah bisa menjadi titik awal. Dari sana, cahaya perjuangan akan terus menyala.

Marsinah telah menjadi Pahlawan Nasional. Tapi lebih dari itu, ia adalah pahlawan hati. Ia mengajarkan bahwa keberanian bukan milik orang kota, bukan milik kaum elit. Keberanian bisa lahir dari desa, dari perempuan sederhana, dari suara yang tak pernah gentar melawan ketidakadilan.

Semoga Mushola Marsinah segera berdiri. Semoga anak-anak desa belajar mengaji di sana. Semoga Marsinah tersenyum di alam sana, karena perjuangannya tak sia-sia. Apalagi kemudian diumumkan ke publik terkait pembangunan tempat ibadah Marsinah. Mungkin saja ada yang berkenan menitipkan amal jariyah. Mushola atau Masjid Marsinah. 

*) KH. Imam Mawardi Ridwan merupakan Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

marsinah #mammawardi #Tulungagung #Buruh