Jejak Arsip Sejarah Probolinggo Dibedah, Wali Kota: Ini Identitas Kita Bersama

13 November 2025 20:50 13 Nov 2025 20:50

Thumbnail Jejak Arsip Sejarah Probolinggo Dibedah, Wali Kota: Ini Identitas Kita Bersama
Walikota Probolinggo dr. Aminuddin, nampak memegang cinderamata bersama DR Ahmad Hudri. (Foto: Dok. Narasumber)

KETIK, PROBOLINGGO – Arsip ternyata bukan sekadar tumpukan kertas tua di lemari. Di dalamnya tersimpan kisah, identitas, dan perjalanan panjang sebuah kota. Itulah semangat yang ingin dihidupkan lewat Seminar dan Lokakarya bertema “Jejak Arsip Sejarah Probolinggo sebagai Warisan Budaya. Relevansi di Masa Kini dan Tantangan di Masa Depan”.

Acara itu digelar Rabu 12 November 2025, di Ruang Pertemuan Badan Kesbangpol Kota Probolinggo, Jalan Mawar No. 39A. Kegiatan diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, bersama KAHMI Kota Probolinggo, itu menghadirkan dua narasumber. Yakni Abdus Sair, dosen sekaligus wakil dekan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, dan Ahmad Hudri, akademisi dari Institut Ahmad Dahlan Probolinggo.

Semiloka dibuka langsung Wali Kota Probolinggo, Aminudin. Dalam sambutannya, ia menegaskan, arsip sejarah bukan hanya urusan masa lalu. Tetapi bagian dari upaya menjaga warisan budaya dan memori kolektif kota.

“Seminar ini bukan sekadar agenda ilmiah, tetapi juga bagian dari upaya strategis melestarikan memori kolektif dan identitas sejarah Kota Probolinggo sebagai warisan budaya bangsa,” ujar kepala daerah berlatar belakang dokter ahli kandungan itu.

Ia menambahkan, arsip adalah sumber pengetahuan yang memperlihatkan bagaimana Probolinggo, tumbuh dari masa kerajaan dan kolonial. Selanjutnya masa perjuangan kemerdekaan, hingga menjadi kota yang dinamis seperti sekarang.

Namun, ia juga mengingatkan, tantangan di era digital tidak ringan. “Ancaman hilangnya arsip, lemahnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya regenerasi pengelola arsip harus kita jawab bersama,” tutupnya.

Sementara itu, Dr. Abdus Sair, menyatakan, sejarah Probolinggo adalah hasil perjalanan panjang yang penuh dinamika. Ia menyebut, jejak Probolinggo, terbentuk dari pengaruh kerajaan Majapahit, masa VOC dan Hindia Belanda. Tak ketinggalan, perpaduan budaya akibat migrasi penduduk dari Madura dan Jawa Tengah.

“Penduduk Probolinggo, adalah campuran dari dua budaya besar. Mereka hidup dalam keseimbangan antara sifat halus dan keras. Sebagian menggunakan bahasa Jawa, namun sebagian besar berbahasa Madura,” jelas Sair, saat diberi kesempatan pertama menyampaikan tema “Membaca Kembali Probolinggo: Jejak Peristiwa, Kuasa, dan Identitas Lokal.”

Sedangkan Dr. Ahmad Hudri, menyoroti pentingnya arsip sebagai cermin perjalanan dan identitas suatu daerah. Menurutnya, arsip memiliki nilai historis, edukatif, budaya, sekaligus identitas.

“Arsip bukan hanya bukti sejarah, tapi juga sumber pendidikan, inspirasi karakter, dan kebanggaan daerah,” ujarnya.

Hudri juga mengajak masyarakat dan akademisi untuk meninjau ulang penetapan hari jadi Kota Probolinggo yang kini berusia 666 tahun pada 2025. Ia menyebut ada sejumlah dokumen yang bisa dijadikan acuan, salah satunya buku karya peneliti Belanda Dr. J. G. W. Lekkerkerker. Buku itu berjudul “Het Nederlandsch Java-Instituut: Probolinggo, Geschiedenis en Overlevering” (1931).

Dari berbagai sumber arsip dan dokumen resmi, Hudri memaparkan, pembentukan Gemeente Probolinggo, pada tahun 1918 menjadi titik penting berdirinya kota ini. Bahkan, walikota pertama Probolinggo, tercatat adalah Ferdinand Meijer, pada tahun 1928.

“Jika kita melihat arsip-arsip lama, Gemeente tahun 1918 bisa dianggap sebagai cikal bakal Kota Probolinggo modern. Tapi jauh sebelum itu, pada abad ke-18, sudah ada Kabupaten Probolinggo, yang bermula dari Banger,” jelas Hudri.

Nama Banger, sendiri sudah muncul dalam Negarakertagama, saat Prabu Hayam Wuruk mengunjungi daerah Lumajang dan Baremi pada 4 September 1359. Tanggal itulah yang kemudian dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kota Probolinggo. Pada saat itu dilakukan pembukaan hutan di sekitar Sungai Banger, untuk dijadikan pusat pemerintahan.

Semiloka yang dipandu oleh Hery Wijayani, ini berlangsung interaktif dan hangat. Para peserta yang hadir mulai dari tokoh masyarakat, akademisi, pegiat literasi, hingga anggota KAHMI, tampak antusias memberikan tanggapan dan pandangan.

Pihak panitia berencana menindaklanjuti kegiatan ini dengan riset lanjutan dan diskusi terbuka untuk merumuskan rekomendasi kebijakan pelestarian arsip di Kota Probolinggo. (*)

Tombol Google News

Tags:

Kota Probolinggo Semiloka Ahmad Hudri