Keabadian Pangan: Belajar dari Malthus Berharap pada Teknologi

2 Juli 2025 16:27 2 Jul 2025 16:27

Thumbnail Keabadian Pangan: Belajar dari Malthus Berharap pada Teknologi
Oleh: Hendry Cahyono*

Seperti biasa sore di teras rumah menikmati cappucino hangat sambil baca berita. Kebetulan selasa sore di penghujung bulan Juni membaca opini kolega saya Dr. Ahmad Ajib Ridlwan Wadek II Fakultas Ketahanan Pangan Unesa, di salah satu media online terkait tahun baru hijriah dan kedaulatan pangan. 

Ada kutipan menarik terkait ketahan pangan yang ditulisnya “Hijrah merupakan simbol transformasi sosial. Bukan sekedar migrasi geografis atau mobilitas fisik semata. Akan tetapi simbol perubahan nilai, sistem, dan peradaban tatanan kehidupan umat manusia.”

Postulat Malthus

Isu persoalan pangan pasti akan menjadi isu abadi selama umat manusia masih ada di muka bumi. Dalam sejarah pemikiran ekonomi isu pangan sudah dibahas Robert Malthus dalam bukunya "An Essay on the Principle of Population", 1798. 

Menurut postulat Malthus "Populasi, ketika tidak dikendalikan, meningkat dalam rasio geometris. Subsisten (persediaan pangan) meningkat hanya dalam rasio aritmetik.". Kombinasi kedua rasio ini menciptakan ketimpangan yang tak terhindarkan. Populasi akan tumbuh jauh lebih cepat daripada pasokan pangan.

Kesenjangan ini akan terus-menerus diperbaiki oleh apa yang Malthus sebut "positive checks" dan "preventive checks". Pertama, positive checks yakni peningkatan kematian akibat kelaparan, wabah penyakit, perang, bencana alam. Ini adalah cara alam yang kejam untuk mengembalikan keseimbangan antara populasi dan sumber daya. 

Kedua, preventive checks bisa dinarasikan sebagai tindakan manusia untuk menekan kelahiran, seperti penundaan pernikahan (moral restraint), pantangan seksual, atau (dalam interpretasi modern) kontrasepsi. Malthus lebih menyukai pengekang preventif berbasis moral ini. 

Pangan dalam Bingkai Data

Pada perkembangan terkini terkait pangan dan penduduk data Indeks Ketahanan Pangan (IKP) menunjukkan bahwa dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia selama periode 2018-2024 menunjukkan trend yang bagus.

Dari data Badan Pangan Nasional, penurunan jumlah kabupaten/kota dengan status ketahanan pangan “Agak Rentan dan Agak Tahan” berkurang dari 95 kabupaten/kota (18%) pada 2018 menjadi 64 kabupaten/kota (12%) di 2024. 

Bahkan untuk kategori “Sangat Rentan dan Rentan” juga mengalami penurunan dari 49 kabupaten/kota (10%) pada 2018, menjadi 39 kabupaten/kota (8%) pada 2024. Implikasi positif kategori diatas bisa dilihat pada kategori “Tahan dan Sangat Tahan” dari 370 kabupaten/ kota (72%) pada 2018 meningkat menjadi 411 kabupaten/kota (80%) di tahun 2024. Tentu ini menjadi kabar yang cukup melegakan bagi kondisi pangan di Indonesia.

Namun demikian sebagai ekonom tentu data diatas juga memberikan tantangan baru dalam persoalan ketahanan pangan. Pertama, ketahanan pangan vs kesejahteraan. Pada dikotomi ini perlu diwaspadai bahwa produksi pangan tinggi tidak sama dengan kesejahteraan manusia otomatis meningkat. Distribusi, ketimpangan, keberlanjutan ekologis, dan kualitas hidup adalah isu kritis. 

Kedua, biaya tersembunyi (hidden costs). Perlu dipahami sistem pangan modern memiliki externalities besar (emisi gas rumah kaca, degradasi tanah, polusi air) yang tidak tercermin dalam harga kesimbangan pasar. Ketiga, transisi demografis dan konsumsi. Di era pertumbuhan populasi melambat, konsumsi per kapita (terutama daging dan produk olahan) menjadi beban lebih besar bagi bumi ketimbang jumlah manusia semata.

Tiga Pertanyaan Besar

Dalam konteks ekonomi modern kompleksitas tantangan tersebut memunculkan pertanyaan baru. Pertama, efisiensi untuk apa? Mengejar produksi maksimal atau kesejahteraan berkelanjutan?. Kedua, siapa yang menanggung biaya ekologis/sosial sistem pangan kita?. Ketiga, apakah revolusi bioteknologi/AI akan membebaskan manusia atau menjajahnya dalam bentuk baru?

Sebagai ahli ekonomi, tentu perlu merangkul kompleksitas tersebut. Kita bisa banyak mengambil pelajaran dari kegagalan postulat Malthus memprediksi tingkat kemajuan teknologi pertanian dan bioteknologi yang spektakuler (pupuk, irigasi, pestisida, mesin pertanian, rekayasa genetika). 

Produktivitas lahan meningkat jauh melebihi prediksi "rasio aritmetik". Mengakui pencapaian sistem pangan modern dalam mengalahkan kelaparan massal (melampaui prediksi Malthus). Namun juga kritis terhadap struktur ketidak berkelanjutan dan ketidakadilan yang menyertainya. 

Masa depan pangan dan masa depan penduduk memerlukan pendekatan holistik yang memadukan inovasi teknologi pangan, kebijakan distributif adil, dan kesadaran ekologis mendalam. Seperti kata penyair Pablo Neruda "The earth is a plate of food for all mankind".

 *) Dr. Hendry Cahyono, SE., ME merupakan Dosen Prodi Ekonomi, FEB Unesa

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini pangan Malthus