KETIK, SURABAYA – Komunikasi pejabat publik di Indonesia kembali jadi sorotan. Alih-alih mendekatkan diri pada rakyat, gaya bicara mereka justru membuat publik merasa digurui.
Hal itu ditegaskan Dr. Suko Widodo, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga. Menurutnya, gaya komunikasi pejabat yang kaku, elitis, bahkan arogan, hanya memperlebar jarak pemerintah dengan masyarakat.
“Publik sering merasa bukan diajak berdialog, melainkan digurui. Padahal, komunikasi pejabat publik harusnya transparan, empatik, dan partisipatif. Kalau ini diabaikan, kepercayaan publik akan terus melemah,” tegas Suko ditulis pada Senin 8 September 2025.
Suko menilai penyebab utamanya adalah kuatnya budaya politik feodal. Pola relasi atasan-bawahan yang kaku membuat komunikasi berjalan satu arah.
“Pejabat sering bicara seakan punya kebenaran tunggal. Mereka lupa, dalam demokrasi, mendengar sama pentingnya dengan berbicara,” sindirnya.
Ia juga menyoroti minimnya akuntabilitas pejabat. Permintaan maaf hingga pengunduran diri jarang dilakukan, padahal di negara maju hal itu menjadi standar.
"Di banyak negara maju, mundur adalah bentuk kehormatan. Di Indonesia, mundur dianggap lemah. Padahal justru bisa menjaga martabat pribadi dan lembaga,” ujarnya.
Menurut Suko, mentalitas mempertahankan jabatan dengan segala cara membuat pejabat cenderung lebih sibuk menjaga citra daripada memperbaiki kinerja.
Sebagai solusi, Suko menawarkan empat langkah konkret:
- Latih keterampilan komunikasi pejabat, termasuk listening skill dan manajemen krisis.
- Bangun budaya akuntabilitas sehingga minta maaf atau mundur dilihat sebagai sikap kesatria.
- Manfaatkan media digital sebagai ruang dialog, bukan sekadar panggung pencitraan.
- Teladan dari pimpinan tertinggi agar komunikasi empatik menjadi budaya birokrasi.
“Komunikasi publik yang baik bukan sekadar etika. Itu adalah fondasi kepercayaan dan kunci suksesnya pemerintahan,” pungkasnya.(*)