KETIK, HALMAHERA SELATAN – Di sebuah lapangan becek di Desa Mandaong, Bacan Selatan, Halmahera Selatan, masa depan dua pesepak bola muda diam-diam sedang dirajut. Lapangan itu bukan stadion, hanya ruang terbuka yang dipagari semak dan suara angin dari pesisir.
Namun di sanalah Rizky Maulana Putra dan Alfian Faiz mula-mula menggenggam mimpi tanpa sorak tribun, tanpa lampu stadion, hanya bola, tanah, dan tekad yang tak pecah oleh cuaca.
Rizky Maulana Putra, lahir 9 September 1996, tak tumbuh dari akademi besar. Ia lahir dari Tarkam, turnamen kampung yang bagi banyak anak desa hanya jadi ajang hiburan. Rizky berdiri di bawah mistar Mandala FC, tim kebanggaan Desa Mandaong, dengan sarung tangan sederhana dan gawang yang tak selalu lurus.
Namun refleksnya yang liar, keberaniannya menjemput bola di kaki lawan, serta naluri bertahan khas penjaga gawang kampung membuat namanya cepat naik dari lapangan-lapangan sunyi itu. Dari Mandala, talenta Rizky tercium Persihalsel. Lalu musim 2023, ia merapat ke Malut United untuk bersaing di Liga 2. Musim berikutnya, 2024, Persipura, tim besar dengan sejarah panjang meminangnya untuk menjaga gawang selama satu musim.
Kini, di musim 2025, Rizky berdiri tegap di bawah mistar Sumsel United, tetap di kasta kedua namun dengan panggung yang lebih riuh.
Dari Tarkam ke Liga 2, langkah itu tak pernah pendek. Namun Rizky telah membuktikan, bagi anak kampung dari Bacan, sepak bola bukan sekadar pelarian, tapi jalan pulang menuju harga diri sebuah desa.
Alfian Faiz, lahir 18 Februari 2006, jauh lebih muda. Usianya baru 19 tahun namun langkahnya sudah menembus persaingan profesional. Ia juga anak Mandala FC, tanpa gembar-gembor, tanpa selebrasi yang dilebih-lebihkan. Bek kiri dengan tinggi 1,78 meter ini punya atribut yang jarang ditemukan di Tarkam, disiplin bertahan, kaki kiri efisien, serta keberanian menusuk dari sayap.
Diam-diam, Garudayaksa, tim Liga 2 asal Bekasi memperhatikannya. Pemain dari desa pesisir Bacan Mandaong itu direkrut tanpa banyak cerita, namun segera menjadi bagian penting dari lini belakang tim tersebut.
Di kasta yang sama dengan Rizky, Alfian mulai menunjukkan taji, mengunci sisi kiri dengan permainan sederhana namun efektif.
Ia kini jadi kebanggaan Desa Mandaong. Dalam setiap tekel bersih atau overlap yang membelah sisi sayap, ia membawa nama daerahnya ke tribun yang jauh dari kampung halamannya.
Rizky dan Alfian datang dari jalur yang sama: Mandala FC, lapangan kampung yang tak pernah ditinggikan siapa pun. Namun sepak bola memang punya cara menghargai kerja keras tanpa perlu menunggu panggung megah.
Rizky, sang kiper matang yang ditempa sarapan Tarkam, kini berdiri di bawah lampu Liga 2 bersama Sumsel United.
Alfian, bek kiri muda yang naik perlahan, kini menjaga sisi lapangan untuk Garudayaksa di kasta yang sama.
Dari Mandaong, dua nama ini seolah membuktikan satu hal, bahwa sepak bola bisa menjadi etalase bagi anak desa yang tak menyerah pada sunyi. Dan dari lapangan becek itu, karier profesional rupanya bukan mimpi yang mustahil.
Mereka mungkin tak lahir dari akademi elite. Tapi dari desa kecil di Bacan, mereka memilih jalan yang sama, menjadikan sepak bola bukan sekadar permainan, melainkan penanda bahwa nama daerah bisa berdiri tegak di antara hiruk Liga 2 Indonesia.
