KETIK, PACITAN – Daya beli masyarakat di Kabupaten Pacitan diklaim tengah mengalami pelemahan.
Hal itu tercermin dari data Indeks Perkembangan Harga (IPH) Agustus 2025 yang menunjukkan deflasi berturut-turut: minggu I sebesar –1,55 persen, minggu II –1,58 persen, dan minggu III –1,80 persen.
Kepala Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Pacitan, Muhammad Ali Mustofa mengakui deflasi ini tidak otomatis tanda kesejahteraan, tetapi adalah sinyal bahwa masyarakat menahan konsumsi karena daya beli kian lemah.
"Komoditas strategis seperti beras, ayam, dan bawang merah justru masih mencatat kenaikan harga jika dibandingkan pada bulan Juli 2025,” ungkapnya kepada Ketik.com, Rabu, 27 Agustus 2025.
Kondisi sulit tersebut mendorong masyarakat mencari jalan pintas.
Menurutnya, fenomena melemahnya daya beli, maraknya pinjol, serta derasnya arus judi online menimbulkan lingkaran kerentanan baru.
Ali memaparkan, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2019–2024 jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut drastis, dari 57,33 juta jiwa menjadi 47,85 juta jiwa. Sebaliknya, kelompok rentan melonjak menjadi 67,69 juta jiwa.
Pun menurut OJK, awal 2025 tercatat 146,5 juta akun pinjol di Indonesia. Alih-alih untuk modal usaha, mayoritas dipakai kebutuhan harian seperti pangan, listrik, hingga sekolah.
Sementara itu, PPATK mencatat perputaran dana judi online 2025 tembus Rp1.200 triliun, naik hampir empat kali lipat dari tahun sebelumnya, setara 14 persen APBN.
"Mayoritas pemain berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Kelas menengah yang tertekan biaya hidup terancam makin terpuruk, sementara kelas bawah semakin sulit bangkit," papar ekonom tersebut.
Di Pacitan, imbuh Ali, kondisi itu terlihat dari meningkatnya partisipasi masyarakat dalam operasi pasar murah dan gerakan pangan murah.
Artinya, rumah tangga yang selama ini dianggap tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional kian tergerus. Mereka terpaksa berhemat, mengurangi konsumsi, bahkan beralih ke pembiayaan berisiko.
Situasi semakin berat di tingkat daerah. Pada 2025, anggaran transfer dari pusat ke Kabupaten Pacitan dipangkas Rp101 miliar.
Pemkab pun harus melakukan rasionalisasi anggaran, mulai dari pemotongan perjalanan dinas, kegiatan seremonial, ATK, hingga penundaan beberapa proyek infrastruktur jalan.
Efisiensi ini di satu sisi dianggap positif karena menekan belanja birokrasi. Namun di sisi lain, penundaan proyek infrastruktur dan berkurangnya belanja publik justru bisa memperdalam penurunan daya beli masyarakat.
“Proyek yang tertunda berarti aliran uang ke pekerja, kontraktor, dan pemasok ikut terhambat. Kegiatan ekonomi lokal dari belanja pemerintah juga menurun, padahal UMKM sangat bergantung dari sana,” jelas analis tersebut.(*)