KETIK, PACITAN – Warga Pacitan berkesempatan menyaksikan fenomena alam langka yang dikenal sebagai hari tanpa bayangan, hari ini, Selasa, 14 Oktober 2025.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), peristiwa ini terjadi di wilayah Pacitan pada pukul 11.21.37 WIB.
Hari tanpa bayangan atau kulminasi utama merupakan momen ketika posisi Matahari berada tepat di atas kepala pengamat.
Akibatnya, bayangan benda tegak akan jatuh tepat di bawahnya sehingga tampak tiada.
Fenomena ini umumnya terjadi dua kali dalam setahun di wilayah sekitar garis khatulistiwa, termasuk Indonesia.
Saat kulminasi utama, posisi Matahari tegak lurus terhadap lintang daerah di antara 23,5° LU hingga 23,5° LS.
Menurut BMKG, di Indonesia momen tersebut berlangsung secara bertahap dari Sabang hingga Merauke antara Februari hingga Oktober 2025.
Fenomena Alam yang Wajar, Namun Perlu Waspada Cuaca Panas
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Pacitan, Radite Suryo Anggoro, menjelaskan bahwa fenomena hari tanpa bayangan ini merupakan hal alamiah dan tidak menimbulkan dampak bencana.
“Fenomena hari tanpa bayangan ini terjadi karena posisi Matahari sedang tepat di atas wilayah Pacitan. Suhu udara bisa terasa lebih panas dari biasanya, namun ini bukan pertanda bahaya,” jelas Radite saat dikonfirmasi Ketik.com, Selasa, 14 Oktober 2025.
Meski demikian, pihaknya mengimbau masyarakat agar tetap waspada terhadap paparan panas berlebih.
“Kami mengingatkan masyarakat untuk menjaga kesehatan dan menghindari aktivitas berat di bawah terik matahari langsung,” tambahnya.
Radite juga menyebut, peningkatan suhu permukaan sementara dapat menyebabkan udara terasa lebih kering dan gerah.
Panas Ekstrem Landa Pacitan Akibat Faktor Atmosfer dan Astronomis
Cuaca panas yang dirasakan di sejumlah wilayah Indonesia, termasuk Pacitan, ternyata merupakan hasil kombinasi antara faktor atmosfer dan astronomis.
Menurut Radite, minimnya tutupan awan menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya suhu udara.
“Tanpa keberadaan awan, sinar matahari menembus langsung ke permukaan bumi tanpa hambatan, sehingga suhu permukaan meningkat signifikan,” ungkapnya mengacu pada rilis BMKG.
Selain langit yang cerah, radiasi matahari di wilayah Indonesia bagian selatan termasuk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara juga mengalami peningkatan, menyebabkan panas terasa lebih menyengat terutama pada siang hari.
Saat ini Indonesia memasuki masa pancaroba, yakni peralihan dari musim kemarau menuju musim hujan.
Kondisi ini ditandai dengan cuaca yang tidak menentu; pada satu waktu sangat panas, namun di waktu lain bisa disertai hujan lokal dan angin kencang.
“Fenomena La Niña lemah ini diprediksi berlangsung dari Oktober 2025 hingga Januari 2026,” tambah Radite.
Fenomena tersebut dapat memicu peningkatan curah hujan secara bertahap di beberapa wilayah, termasuk Pacitan.
Selain itu, pergeseran posisi semu Matahari ke arah selatan turut memperkuat intensitas penyinaran di wilayah selatan Indonesia, menjadikan suhu udara terasa lebih terik dari bulan-bulan sebelumnya.(*)