Bukan Sekadar Bangunan yang Roboh: Mengapa Komunikasi saat Krisis Itu Penting?

6 Oktober 2025 20:47 6 Okt 2025 20:47

Thumbnail Bukan Sekadar Bangunan yang Roboh: Mengapa Komunikasi saat Krisis Itu Penting?
Oleh: Silvi Aris Arlinda*

Tragedi dan Keheningan Informasi

Tragedi robohnya Mushola Al-Khoziny beberapa waktu lalu menyita perhatian publik. Di tengah kepanikan dan simpang siur informasi, masyarakat bukan hanya berduka atas korban jiwa, tetapi juga mempertanyakan mengapa komunikasi publik berjalan begitu lambat.

Ketika kabar itu beredar luas di media sosial, gelombang emosi publik langsung muncul: sedih, marah, hingga curiga. Tak butuh waktu lama, berbagai narasi pun berkembang mulai dari dugaan kelalaian hingga tuduhan yang belum tentu benar. 

Di tengah hiruk pikuk tersebut, satu hal menjadi jelas: bukan hanya bangunan yang roboh, tetapi juga kepercayaan publik yang ikut goyah.

Inilah titik di mana manajemen komunikasi krisis seharusnya berperan. Sebab, dalam setiap bencana baik bersifat fisik maupun sosial yang paling rapuh bukan hanya struktur bangunan, tetapi juga struktur kepercayaan antara masyarakat dan lembaga terkait.

Mengapa Komunikasi Itu Kunci?

Salah satu kesalahan paling sering dalam menghadapi krisis adalah terlambatnya komunikasi. Banyak lembaga masih berpikir bahwa diam adalah pilihan aman. Padahal, dalam era digital yang serba cepat, diam justru memperbesar ruang spekulasi.

Masyarakat menunggu kejelasan: siapa yang bertanggung jawab, bagaimana kondisi korban, dan langkah apa yang diambil agar tragedi serupa tidak terulang. Namun ketika informasi resmi datang terlambat atau tidak terkoordinasi, publik mengisi kekosongan itu dengan tafsir sendiri. Di sinilah kepanikan dan ketidakpercayaan mulai tumbuh.

Sejalan dengan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dari W. Timothy Coombs, respons pertama yang cepat dan empatik menjadi faktor kunci dalam membentuk persepsi publik terhadap lembaga. Semakin cepat dan terbuka sebuah institusi memberikan penjelasan, semakin besar peluang mereka mempertahankan kredibilitas di mata masyarakat.

Tiga Fungsi Komunikasi Saat Krisis

Komunikasi dalam situasi krisis bukan sekadar menyampaikan fakta, tetapi menunjukkan empati dan tanggung jawab moral. Ada tiga alasan utama mengapa komunikasi publik sangat penting di tengah situasi genting seperti ini:

1. Menenangkan Emosi Publik

Masyarakat yang cemas membutuhkan kepastian, bukan sekadar pernyataan formal. Kalimat sederhana seperti “Kami turut berduka dan bertanggung jawab atas pemulihan ini” sering kali lebih bermakna daripada penjelasan teknis yang kaku.

2. Menjaga Kredibilitas Lembaga

Transparansi adalah mata uang kepercayaan. Ketika lembaga jujur tentang apa yang terjadi termasuk mengakui kesalahan publik cenderung lebih mudah memaafkan dibanding jika merasa ditutupi.

3. Mencegah Krisis Sekunder

Krisis tidak hanya disebabkan oleh peristiwa awal, tetapi juga oleh salah urus komunikasi setelahnya. Informasi yang saling bertentangan atau pernyataan defensif justru memperpanjang luka sosial di tengah masyarakat.

Dari Reaktif ke Proaktif

Sayangnya, banyak lembaga baru berbicara setelah tekanan publik meningkat. Pola ini menunjukkan bahwa komunikasi masih sering dianggap pelengkap, bukan bagian inti dari manajemen krisis.

Padahal, dalam situasi seperti Mushola Al-Khoziny, komunikasi seharusnya proaktif dan terencana.

Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan antara lain:

  • Menggelar konferensi pers terbuka maksimal 24 jam setelah kejadian.
  • Menunjuk juru bicara tunggal yang kompeten dan berempati.
  • Membuka saluran komunikasi publik (hotline, akun media sosial resmi, atau situs web) untuk memperbarui informasi secara rutin.

Langkah-langkah tersebut bukan hanya mencegah kebingungan, tetapi juga menumbuhkan rasa aman bahwa masalah sedang ditangani secara serius dan transparan.

Peran Media Sosial: Antara Solusi dan Tantangan

Media sosial kini menjadi arena pertama di mana krisis berlangsung. Informasi menyebar jauh lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Karena itu, lembaga perlu menyadari bahwa diam di dunia maya berarti membiarkan orang lain membentuk narasi sendiri.

Namun, media sosial juga bisa menjadi alat pemulihan reputasi jika digunakan dengan bijak. Melalui unggahan cepat, klarifikasi empatik, dan keterbukaan terhadap kritik, lembaga dapat membangun kembali kepercayaan publik sedikit demi sedikit.

Kuncinya adalah literasi komunikasi digital yang matang: bukan sekadar “posting klarifikasi”, tetapi memahami konteks emosi publik dan meresponsnya dengan bahasa yang menenangkan, bukan defensif.

Empati dan Tanggung Jawab Publik

Di balik teori dan strategi, inti dari komunikasi krisis adalah empati.

Empati berarti mampu merasakan apa yang dirasakan publik: kehilangan, kecewa, marah, dan takut. Tanpa empati, komunikasi hanya menjadi formalitas dan publik akan merasakannya.

Empati harus tampak dalam tutur kata, nada suara, dan tindakan nyata: membantu korban, membuka penyelidikan, dan mengajak masyarakat terlibat dalam pemulihan. Komunikasi yang empatik dapat mengubah krisis menjadi momentum solidaritas dan pembelajaran sosial.

Menutup Krisis dengan Kejujuran

Krisis tak bisa dihindari, tetapi cara mengelolanya menentukan apakah sebuah lembaga akan kehilangan kepercayaan publik atau justru tumbuh lebih kuat.

Robohnya Mushola Al-Khoziny menjadi pengingat bahwa komunikasi yang buruk dapat memperburuk luka. Sebaliknya, komunikasi yang cepat, jujur, dan penuh empati mampu menjadi jembatan antara tragedi dan pemulihan.

Pada akhirnya, komunikasi krisis bukan sekadar menyelamatkan reputasi, tetapi mengembalikan rasa percaya bahwa di balik setiap musibah, selalu ada niat baik untuk belajar, memperbaiki, dan melindungi sesama.

*) Silvi Aris Arlinda, S.I.Kom., M.I.Kom merupakan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Al Khoziny Silvi Aris Arlinda