"Biaya ketidakjujuran bukan sekadar kerugian yang ditanggung korban, tapi juga hilangnya transaksi saling menguntungkan yang gagal terwujud akibat ketidakpercayaan." (Akerlof, 1970: 495)
Dinamika Beras
Mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020 dan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 2 Tahun 2023. Kualitas beras ditentukan medium dan premium. Satu sisi, peraturan ini memberikan pilihan luas pada konsumen untuk bebas memilih beras yang akan dikonsumsi.
Masalah mulai timbul ketika ada produsen beras medium dan premium mencari profit dengan cara curang. Celah ketidaksempurnaan informasi konsumen lihai dimanfaatkan.
Dari sisi harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani pada tahun 2025 telah ditetapkan sebesar Rp6.500 per kilogram oleh pemerintah. Penetapan harga ini bertujuan untuk melindungi petani dan mendukung swasembada pangan. Tentu kenaikan harga GKP ini memberikan dampak positif pada Nilai Tukar Petani.
Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Timur pada bulan Juni 2025 mengalami kenaikan sebesar 2,75 persen dibanding periode sebelumnya di bulan Mei, mencapai angka 112,39. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi di antara provinsi lain di Pulau Jawa (BPS).
Menjadi masalah ketika persentase kenaikan harga GKP tidak diikuti oleh persentase kenaikan harga beras medium dan premium. Distorsi harga ini disinyalir juga dijadikan instrumen oleh produsen beras untuk melakukan pengoplosan beras. Dimana beras kualitas rendah dengan harga murah dicampur dengan beras medium ataupun premium.
Kegagalan Pasar Sistemik
Mengingat kembali essay George Akerlof (1970) pemenang Nobel Ekonomi tahun 2001 tentang Adverse Selection pada kasus mobil bekas (The Market for Lemons), "Bad cars drive out the good [...] it is quite possible to have the bad driving out the not so bad driving out the medium driving out the not so good driving out the good in such a sequence of events that no market exists at all."
Kasus beras oplosan berupa pencampuran beras berkualitas rendah/rusak dengan beras medium atau premium merupakan contoh klasik kegagalan pasar (market failure). Penyebab utamanya adalah asimetri informasi dan disertai eksternalitas negatif. Ketidakseimbangan informasi antara penjual dan pembeli.
Dalam kasus beras oplosan ada dua mekanisme yang menyebabkan kegagalan pasar:
Pertama, adverse selection (seleksi merugikan). Pembeli tidak mampu membedakan beras asli medium atau premium dan oplosan, sehingga konsumen bersedia membayar harga "rata-rata".
Produsen beras berkualitas tinggi tidak memilih menjual dengan harga rata-rata karena biaya produksi lebih mahal. Produsen beras jujur akhirnya memilih keluar dari pasar. Sebaliknya, produsen beras oplosan (biaya rendah) tetap untung. Akhirnya, pasar didominasi beras oplosan dari produsen pemburu rente.
Kedua, moral hazard. Produsen beras pemburu rente bebas melakukan oplosan karena kecil kemungkinan ketahuan oleh pembeli. Risiko tertangkap oleh aparat hukum rendah dibanding keuntungan yang didapat.
Kondisi ini menyebabkan pasar beras berkualitas tinggi menyusut, harga menjadi tidak mencerminkan kualitas sebenarnya. Harga tinggi belum tentu jaminan kualitas baik dan kepercayaan konsumen merosot. Jadi kasus beras oplosan tidak hanya persoalan pelanggaran hukum semata akan tetapi kegagalan pasar secara sistemik.
Berdasarkan pernyataan Menteri Pertanian kerugian yang diderita konsumen akibat beras oplosan mencapai Rp99 triliun. Nominal yang sangat fantastis yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Siapa yang Dirugikan?
Kerugian akibat kegagalan pasar dikenal juga dengan eksternalitas negatif. Biaya yang ditanggung pihak ketiga masyarakat dan pemerintah akibat tindakan pelaku pasar dalam hal ini produsen beras pemburu rente. Tanpa adanya kompensasi pengganti akibat kerugian yang ditimbulkan. Ada tiga pihak yang dirugikan dalam kasus beras oplosan.
Pertama, masyarakat. Secara ekonomi masyarakat mengalami kerugian besar dengan membayar harga mahal untuk kualitas beras murah ditengarai kerugian sudah mencapai Rp99 triliun. Kerugian lain yang diderita masyarakat adalah biaya non ekonomi.
Beras oplosan sering mengandung bahan berbahaya pemutih, pengawet ilegal, beras berkutu/berjamur. Konsumsi jangka panjang menyebabkan penyakit gangguan pencernaan, keracunan dan lainnya. Biaya pengobatan ditanggung masyarakat dan sistem kesehatan seperti BPJS.
Kedua, pemerintah yang mengeluarkan anggaran tambahan untuk biaya penegakan hukum. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran besar untuk pengawasan, uji laboratorium, penyidikan, dan penuntutan pelaku.
Selain itu program swasembada dan ketahanan pangan pemerintah terganggu. Konsumsi beras oplosan bisa mengurangi kualitas nutrisi masyarakat dan melemahkan produktivitas tenaga kerja.
Ketiga, Produsen Jujur. Reputasi produsen beras yang selama ini jujur dan berkualitas ikut tercemar. Penjualan menurun akibat turunnya kepercayaan pasar.
Mengakhiri Pesta Pora Pemburu Rente
Kegagalan pasar pada kasus beras oplosan tidak dapat diperbaiki sendiri oleh mekanisme pasar. Intervensi pemerintah mutlak diperlukan untuk memperbaiki asimetri informasi. Untuk itu dibutuhkan beberapa alternatif kebijakan.
Pertama, regulasi labeling dan sertifikasi beras medium dan kemasan. Wajibkan para produsen beras medium dan premium untuk memberikan informasi yang jelas berupa barcode kemasan yang bisa diakses oleh handphone pembeli. Informasi lengkap seperti asal-usul, jenis, dan kualitas beras harus jelas dan dengan mudah diakses konsumen termasuk kanal pelaporan ketika terjadi pelanggaran.
Kedua, Pengawasan pasar dan uji Sampel. Intensifkan pengawasan di penggilingan padi, gudang, pabrik, dan pasar ritel. Lakukan uji lab rutin dan publikasikan hasilnya secara massif secara berkala.
Ketiga, Menginternalisasi eksternalitas negatif. Kebijakan ini mewajibkan produsen/penjual menanggung biaya pengujian dan penarikan produk. Menggunakan denda dari pelaku untuk membiayai program kesehatan masyarakat terkait dampak beras oplosan.
*) Dr. Hendry Cahyono, SE., M merupakan Dosen Prodi Ekonomi, FEB Unesa
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)