Antara Pena, Cinta, dan Nisan: Epitaf untuk Boki Fatimah

Hegemoni Kultural dan Literasi Emansipatoris, Jejak Boki Fatimah dalam Gerakan Nasional

12 November 2025 07:16 12 Nov 2025 07:16

Thumbnail Antara Pena, Cinta, dan Nisan: Epitaf untuk Boki Fatimah
Makam Boki Fatiamah di Desa Amasing Kota Utara (Foto: Mursal/Ketik.com)

KETIK, HALMAHERA SELATAN – Di tengah kemegahan Kesultanan Bacan yang masyhur sebagai pusat kebudayaan dan diplomasi maritim di gugusan Maluku Utara, lahirlah seorang putri bangsawan bernama Boki Fatimah, atau dikenal dengan julukan Prinses Kasiruta. Ia merupakan putri Sultan Bacan ke-18, Muhammad Oesman Sadik, yang memerintah hingga sekitar tahun 1900. 

Dalam konteks antropologi sosial, kelahirannya menandai lahirnya generasi bangsawan perempuan yang bukan hanya pewaris legitimasi politik, tetapi juga agen perubahan budaya. 

Kemampuan Boki Fatimah dalam membaca dan menulis Bahasa Melayu serta Belanda menjadikannya figur langka di masa kolonial, masa ketika literasi merupakan bentuk resistensi kultural terhadap hegemoni kekuasaan Eropa. 

Ia kemudian tercatat dalam historiografi nasional sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia, sosok yang pada 2023 bahkan diusulkan menjadi pahlawan nasional oleh kalangan akademisi dan wartawan Maluku Utara atas kontribusinya dalam membangun fondasi feminisme jurnalistik di tanah air.

Perjalanan hidup Boki Fatimah berakar dari istana Bacan yang sarat nilai edukatif dan spiritual. Di sana, ia memperoleh pendidikan yang luas dari bahasa asing hingga pemahaman moral kebangsawanan. 

Pada 8 Februari 1906, ia menikah dengan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, seorang intelektual dan jurnalis asal Blora yang kelak dijuluki pelopor pers nasional. Dari perspektif sosiologi komunikasi, pernikahan ini melahirkan simbiosis intelektual antara dua insan yang sama-sama memperjuangkan kebebasan berpikir dan berbicara di bawah bayang kolonialisme. 

Tirto yang semula menempuh pendidikan kedokteran kemudian beralih ke dunia pers, dan pada 1 Januari 1907, mendirikan surat kabar legendaris Medan Prijaji di Bandung. Menariknya, pendanaan utama surat kabar tersebut datang dari Kesultanan Bacan, menjadikannya simbol kolaborasi antarelit pribumi dalam memperjuangkan kesadaran nasional melalui media.

Sebagai anggota redaksi utama, Boki Fatimah berperan tidak hanya dalam penyuntingan tetapi juga dalam produksi wacana kritis terhadap kebijakan kolonial. Tulisan-tulisannya di Medan Prijaji mengandung nilai-nilai emansipatoris yang menentang eksploitasi ekonomi dan diskriminasi rasial. 

Dalam kajian teori hegemoni Antonio Gramsci, peran Boki Fatimah dan Tirto mencerminkan upaya kaum terpelajar pribumi membangun hegemoni budaya tandingan melalui media massa, suatu bentuk nasionalisme pers atau press nationalism. Dengan demikian, Boki Fatimah tidak hanya tampil sebagai tokoh sejarah, tetapi juga sebagai pionir dalam transformasi kesadaran kolektif bangsa melalui kekuatan bahasa dan narasi.

Kehidupan Boki Fatimah dan Tirto bukan tanpa tekanan. Surat kabar mereka kerap dianggap provokatif oleh pemerintah Hindia Belanda hingga akhirnya Medan Prijaji ditutup pada 3 Januari 1912.

Di masa-masa sulit itu, Boki Fatimah menunjukkan resiliensi emosional luar biasa. Ia bahkan pernah mencabut pistol untuk melindungi suaminya dari ancaman agen kolonial. Tindakan simbolik yang mencerminkan keteguhan eksistensial seorang perempuan dalam sistem patriarkal kolonial. 

Tak berhenti di situ, ia turut mendirikan Poetri Hindia, terbitan perempuan pertama milik bumiputera yang mengangkat isu-isu gender equality dan nasionalisme kultural. Dalam studi feminisme poskolonial, kiprahnya dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur ganda kolonialisme dan patriarki.

Kisah Boki Fatimah kemudian diabadikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Jejak Langkah dan Rumah Kaca, di mana sosoknya menjadi inspirasi bagi tokoh Nyai Ontosoroh dan Annelies, lambang perempuan yang cerdas, berdaya, dan berani melawan ketidakadilan. 

Setelah Tirto wafat pada 7 Desember 1918 di Batavia, Boki Fatimah kembali ke tanah kelahirannya dan berpulang di Bukit Borero, Desa Amasing, Bacan. Di nisannya tertulis, “Boki Fatima, Prinses Kasiruta binti Sultan Muhammad Usman Syah” sebuah epitaf yang merekam memori kolektif historis tentang perjuangan perempuan timur dalam memperjuangkan kebenaran melalui pena. Hingga kini, masyarakat Bacan dan para akademisi terus memperjuangkan pengakuannya sebagai Pahlawan Nasional, karena kisah hidupnya bukan sekadar catatan sejarah, melainkan teks moral dan intelektual tentang makna perjuangan, cinta, dan keberanian perempuan Nusantara.

Kisah Boki Fatimah adalah cermin tentang interseksi antara sejarah, gender, dan komunikasi sosial dalam membentuk identitas bangsa. Dari ruang sunyi istana hingga medan perlawanan literasi, ia menunjukkan bahwa perubahan besar bisa lahir dari kata-kata yang halus, namun menembus batas kekuasaan. 

Dalam narasi sejarah Indonesia modern, nama Boki Fatimah Sang Prinses Kasiruta bukan hanya milik masa lalu, melainkan pencerahan intelektual dari Timur yang terus menyala di tengah perjalanan bangsa.

 

Tombol Google News

Tags:

Boki Fatima Prinses Kasiruta Pahlawan Jurnalis perempuan Halmahera Selatan Maluku Utara Timur Nusantara