Di banyak lapangan di Halmahera Selatan, sepak bola tumbuh dengan cara yang sederhana. Tanah kadang becek, garis lapangan tak selalu lurus, dan tribun sering kali hanya sebatas bayangan pohon. Di tempat seperti itulah Farly Candra menempa hidupnya. Ia berdiri di tengah lapangan bukan sekadar sebagai wasit berlisensi C1 Nasional, tetapi sebagai manusia yang menjaga permainan tetap jujur di tengah segala keterbatasan.
Jauh sebelum peluit menjadi bagian dari hidupnya, Farly adalah pemain. Ia lahir dan besar dalam denyut sepak bola Halmahera Selatan. Ia pernah bergabung bersama Persihalsel, tim kebanggaan daerah, pada masa ketika sepak bola lokal hidup dari keberanian dan rasa cinta. Bermain bagi daerah bukan perkara nama besar, melainkan soal kebanggaan dan pengabdian.
Masa sekolahnya di SMA Negeri 1 Halmahera Selatan diwarnai oleh pilihan yang jujur ia akui hingga kini. Waktu belajarnya sering kalah oleh waktu bermain bola. Seusai sekolah, ia lebih memilih lapangan ketimbang meja belajar. Sepak bola menjadi ruang tumbuhnya. Dari sana ia belajar tentang kerja sama, kekalahan, dan bagaimana menerima keputusan, bahkan ketika keputusan itu terasa pahit.
Pada masa itu pula, Farly bersama sahabatnya semasa SMA, Sandi Solisa, sempat berada di persimpangan jalan yang penting. Keduanya dipanggil untuk memperkuat Persiter Yunior, tim kebanggaan masyarakat Maluku Utara yang kala itu menjadi tujuan dan impian banyak anak muda pecinta sepak bola. Namun di saat bersamaan, keduanya baru saja diterima bekerja. Dengan pertimbangan masa depan dan tanggung jawab yang mulai tumbuh, Farly dan Sandi memilih jalan yang berbeda. Mereka melepaskan kesempatan emas itu dan menetapkan pilihan pada pekerjaan yang baru saja mereka genggam.
Kecintaannya pada sepak bola dunia mengalir hingga ke Eropa. Farly mengidolakan Inter Milan, klub Italia yang ia kenal dengan permainan disiplin dan mental baja. Ia menyukai cara tim itu bertahan dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Tanpa ia sadari, pola itu membentuk caranya memandang hidup, sabar, tenang, dan tidak tergesa.
Ketika karier sebagai pemain perlahan meredup, Farly tidak menjauh dari lapangan. Ia memilih jalan lain agar tetap berada di rumput hijau. Menjadi wasit adalah caranya menjaga kedekatan dengan sepak bola. Ia tidak lagi berlari mengejar gol, tetapi berlari menjaga permainan tetap adil. Pilihan itu tidak mudah, sebab wasit jarang mendapat tepuk tangan. Mereka lebih sering menerima makian.
Di lapangan, Farly dikenal tegas. Keputusan diambilnya dengan cepat dan jelas. Namun di luar lapangan, ia adalah sosok yang humoris dan mudah bergaul. Tawa menjadi caranya meredakan lelah. Di balik itu semua, ia adalah lelaki yang taat pada agama. Nilai keyakinan menjadi penopang hidupnya, bahkan ketika keyakinan itu menuntunnya pada ujian besar.
Dalam satu fase hidupnya, demi menjalankan dakwah di negeri orang, Farly harus menerima kenyataan pahit. Ia diberhentikan dari pekerjaannya. Sebuah titik yang mengguncang hidupnya sebagai kepala keluarga. Saat itu, hidup seolah berhenti sejenak. Ia harus menata ulang segalanya, dari ekonomi hingga kepercayaan diri.
Namun Farly tidak menyerah. Ia memilih bangkit perlahan. Dengan istri dan anak-anak sebagai alasan terkuat, ia kembali ke lapangan. Memimpin pertandingan demi pertandingan menjadi caranya bertahan. Setiap laga adalah ruang pembuktian. Setiap keputusan adalah latihan kejujuran. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa berujung caci maki, tetapi ia tetap melangkah.
Puncak kepercayaan itu datang ketika ia dipercaya memimpin final Gurabati Open Tournament. Turnamen ini dikenal sebagai salah satu yang terbesar dan paling bergengsi di Maluku Utara. Tekanan datang dari segala arah. Ribuan pasang mata mengawasi. Namun Farly berdiri tenang. Pertandingan berjalan tanpa gejolak besar. Peluitnya menutup laga dengan damai. Bagi seorang wasit, itulah kehormatan tertinggi.
Waktu kemudian menjawab kesabarannya. Farly kembali dipanggil bekerja di tempat kerja yang sama. Panggilan itu bukan sekadar soal pekerjaan, melainkan pengakuan atas keteguhan sikap dan kesabaran menghadapi cobaan. Ia menerima semuanya dengan lapang dada, tanpa dendam, tanpa merasa paling benar.
Kini, Farly Candra masih berdiri di tengah lapangan. Ia tahu, menjadi wasit di daerah berarti siap berada di posisi paling sunyi. Dicaci penonton, diintimidasi pemain, dan sering kali dilupakan setelah pertandingan usai. Namun ia tetap bertahan, sebab ia percaya sepak bola hanya bisa hidup jika keadilan dijaga.
Dari Halmahera Selatan, kisah Farly mengajarkan bahwa sepak bola bukan hanya tentang skor akhir. Ia adalah cerita tentang manusia yang memilih tetap jujur, tetap sabar, dan tetap setia pada lapangan, meski hidup berkali-kali mengujinya.
