KETIK, YOGYAKARTA – Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dinilai masih sangat vital dan tidak boleh dianggap usang meski telah ada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Regulasi ini dianggap sebagai "Undang-Undang Payung" yang meletakkan fondasi etik dan administratif yang bersifat preventif. Pernyataan tersebut disampaikan oleh salah satu akademisi dari Universitas Proklamasi (UP) 45 Yogyakarta, Dr H PK Iwan Setyawan, SH MH.
Doktor ilmu hukum ini menjelaskan bahwa kekuatan UU 28/1999 terletak pada fokusnya yang melengkapi UU Tipikor.
"UU Tipikor lebih fokus pada tindakan represif dan kerugian keuangan negara. Sebaliknya, UU 28/1999 berfokus pada tindakan preventif dan disipliner untuk mewujudkan standar etika dalam tata kelola pemerintahan," ujarnya, Selasa 30 September 2025.
Landasan Etik dan Administrasi Publik
Iwan Setyawan menekankan bahwa UU ini adalah pilar utama yang secara eksplisit mengatur Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang Baik (AUPB). Asas-asas seperti Kepastian Hukum, Keterbukaan, Profesionalitas, dan Akuntabilitas (Pasal 3) menjadi norma etik dan administrasi yang wajib dipatuhi.
"AUPB adalah standar ideal sekaligus pagar moral. Pelanggaran terhadap asas-asas ini, meskipun belum mencapai delik pidana korupsi, sudah dikategorikan sebagai perbuatan tercela yang melanggar hukum administrasi," jelasnya.
Ia menambahkan, keberadaan asas ini bersifat preventif dan menjadi tolok ukur ideal dalam tata kelola pemerintahan.
Senjata Hukum Melawan Kolusi dan Nepotisme
Urgensi lain dari UU 28/1999 adalah penekanan spesifik dan definisi eksplisit terhadap Kolusi dan Nepotisme (KN). Menurut Iwan, praktik KN sering menjadi akar masalah yang memicu tindak pidana korupsi namun sering luput dari jerat UU Tipikor.
"Nepotisme, misalnya, adalah perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarga dan/atau kroni di atas kepentingan umum. Ini merusak meritokrasi. UU 28/1999 memberikan senjata hukum spesifik untuk menjerat praktik KN yang merusak tata kelola," tegasnya.
Basis Hukum Laporan Kekayaan
Selain itu, UU ini juga menjadi basis hukum untuk kewajiban Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Kewajiban melaporkan kekayaan, baik sebelum, selama, maupun setelah menjabat, merupakan instrumen pencegahan yang sangat vital.
"Meskipun pemeriksaan LHKPN di bawah KPK, landasan hukum kewajiban itu sendiri bersumber kuat dari UU No. 28/1999," jelasnya.
Ia tambahlan, sanksi administratif bagi pelanggar kewajiban ini pun menegaskan fungsi disipliner dan pencegahan UU tersebut.
Iwan Setyawan menyimpulkan, alih-alih mencabut, yang diperlukan saat ini adalah penguatan implementasi UU No. 28/1999, terutama dalam penegakan delik Kolusi dan Nepotisme, serta sanksi administratif bagi pelanggaran etika.
"UU ini adalah cerminan dari cita-cita Reformasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, cita-cita yang hingga kini belum sepenuhnya tercapai," pungkasnya. (*)