KETIK, SLEMAN – Tepat hari ini, Kamis, 2 Oktober 2025, bangsa Indonesia mengenang 37 tahun wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX). Raja Karaton Yogyakarta sekaligus Wakil Presiden RI kedua ini berpulang pada tahun 1988.
Peringatan tahunan ini tidak hanya diwarnai duka, tetapi juga dijadikan momentum penting untuk meneladani spirit perjuangan dan kerakyatan beliau, terutama dalam konteks pembangunan daerah.
Keteladanan Sri Sultan HB IX dinilai sangat relevan diterapkan pada sektor pariwisata dan budaya di Sleman, sebagai bagian integral dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Spirit HB IX: Pelayan Rakyat dan Pembangun Daerah
Edy Winarya, SSn MSi, Kepala Dinas Pariwisata Pemkab Sleman, yang sebelumnya menjabat Kepala Dinas Kebudayaan Sleman menekankan bahwa sosok Sri Sultan HB IX adalah cerminan dari pemimpin yang meletakkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Filosofi ini wajib dipegang teguh oleh para pengelola pariwisata saat ini.
"Mengenang Sri Sultan HB IX adalah mengingat dedikasi tanpa batas. Sifat kepemimpinannya yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan bangsa, serta pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada Indonesia," ujar Edy Winarya, Kamis 2 Oktober 2025.
Ia tambahkan, Sri Sultan HB IX bahkan menyerahkan harta pribadinya untuk perjuangan Kemerdekaan RI.
"Ini menunjukkan bahwa beliau tidak berjarak dengan rakyat. Spirit inilah yang harus kita terapkan di Pariwisata Sleman," sebutnya.
Lebih lanjut, Edy menyampaikan, keteladanan Sri Sultan HB IX terwujud dalam dua aspek penting yang kini diimplementasikan di Sleman:
1. Kepemimpinan Visioner: Sri Sultan HB IX terkenal dengan proyek-proyek besar berorientasi kesejahteraan, seperti pembangunan saluran irigasi. Mengambil inspirasi dari hal ini, Dinas Pariwisata Sleman kini mendorong 'Inovasi Pariwisata Berbasis Kesejahteraan', yang memastikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal serta desa wisata benar-benar merasakan dampak ekonomi.
2. Kerakyatan: Kesediaan Sri Sultan HB IX berkorban demi rakyatnya menjadi inspirasi bagi pengembangan Desa Wisata yang Mandiri dan Otentik. Dalam model ini, masyarakat adalah subjek utama pembangunan pariwisata, bukan sekadar objek wisata.
Kepala Dinas Pariwisata Sleman, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Sleman, Edy Winarya, SSn MSi. (Foto: Fajar Rianto/Ketik)
Pemakaman Penuh Tangis Kerakyatan
Suasana duka yang menyelimuti wafatnya Sri Sultan HB IX pada 2 Oktober 1988 dan prosesi pemakaman pada hari-hari berikutnya menjadi bukti kuat cinta rakyat kepada beliau.
Jenazah almarhum, yang wafat di Washington DC, Amerika Serikat, dibawa pulang dan dimakamkan di Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri. Seluruh prosesi yang menggabungkan upacara kenegaraan (militer) dan adat Karaton menjadi saksi bisu betapa besarnya kehilangan yang dirasakan.
"Bayangkan, di tahun 1988, ratusan ribu orang tumpah ruah memadati jalanan dari Karaton menuju Imogiri. Itu bukan paksaan, tapi murni tangis cinta rakyat. Itu adalah pemakaman seorang Raja yang paling merakyat," kenang Edy Winarya, yang saat peristiwa duka tersebut masih duduk di kelas 2 SMKI, Yogyakarta.
Ia menekankan, keheningan, tangisan, dan rasa hormat yang luar biasa saat jenazah melintas adalah warisan tertinggi dari seorang pemimpin yang diakui dan dicintai oleh rakyatnya sendiri.
Tantangan Pariwisata Sleman: Menjadi Tangguh dan Berbudaya
Menutup refleksinya, Edy Winarya mengajak seluruh pelaku pariwisata di Sleman untuk menjadikan keteladanan Sri Sultan HB IX sebagai kompas moral.
"Sleman punya Merapi, alam, dan budaya yang luar biasa. Namun, kita harus ingat, pariwisata yang berkelanjutan harus berakar pada budaya dan ketangguhan,"sebut Edy.
Ia menegaskan bahwa Sri Sultan HB IX mengajarkan kita untuk tidak gentar menghadapi kesulitan. Di tengah kondisi seperti saat ini. Pariwisata Sleman harus menjadi sektor yang 'tangguh' dan menjadikan budaya sebagai daya tarik inti, bukan hanya pelengkap. (*)