KETIK, SURABAYA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik sikap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang hingga kini dinilai enggan membuka siapa dalang utama di balik kerusuhan yang mewarnai gelombang demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025.
Menurut Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, sikap pemerintah itu bisa mengundang tanda tanya.
"Nah kami jadi mencurigai kenapa pemerintah tidak mau membuka. Ada apa? Justru masyarakat jadi bertanya-tanya. Jangan-jangan ada yang sembunyikan oleh kekuasaan terkait mereka ini?” ujar Isnur saat ditemui jurnalis Suara.com, jejaring media Ketik di kantor ICW Jakarta pada Senin, 15 September 2025.
Alih-alih membongkar fakta, lanjut Isnur, pemerintah melalui Polri justru melakukan kriminalisasi terhadap para aktivis sipil pro demokrasi.
“Malah melemparkan kesalahan atau mengkambinghitamkan aktor-aktor masyarakat sipil seperti Delpedro dan sebagainya," sambungnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyebut belum ada arahan dari Presiden Prabowo untuk merespon desakan masyarakat sipil agar pemerintah membentuk tim investigasi independen atau Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Bagi Isnur, kondisi itu memperlihatkan ketidakhadiran negara dalam mengusut dalang di balik kerusuhan di berbagai kota. Padahal, dengan segala kewenangan dan perangkat yang dimiliki, pemerintah diyakini sangat mudah untuk mengungkap dalang di balik kericuhan tersebut.
Justru upaya mengungkap dalang yang sesungguhnya dilakukan oleh sejumlah media dan influencer yang selama ini dikenal kritis.
“Pemerintah dengan segala kewenangannya justru kalah oleh kerja media dan masyarakat sipil yang lebih dulu menggali fakta,” papar Isnur.
Indikasi keengganan pemerintah kian terlihat dari kasus dugaan kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis. Beberapa nama yang disebut antara lain Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, staf Lokataru Muzaffar Salim, hingga admin akun Gejayan Memanggil, Syahdan Husein.
“Mereka yang seharusnya menjaga demokrasi dan HAM malah dijerat hukum,” kritiknya.
Menurut Isnur, TGPF menjadi sangat mendesak karena polisi hanya bergerak pada aspek pidana, tanpa menyentuh pola kekerasan, keterlibatan aktor-aktor misterius, hingga aliran dana yang mengiringi peristiwa tersebut.
Desakan agar pemerintah membentuk tim independen atau Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkap dalang kericuhan pada demo akhir Agustus 2025, sebelumnya juga disuarakan oleh Komnas HAM.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah menyebut, orang-orang yang sudah ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka pemicu kericuhan dalam demo akhir Agustus 2025, dinilai juga sebagai korban.
Dugaan ada aktor besar di balik serangkaian kericuhan pada demo akhir Agustus 2025 di berbagai kota, sebelumnya sudah banyak diungkap oleh beberapa media dan influencer kritis.
Salah satunya adalah Ferry Irwandi yang mengungkap indikasi keterlibatan aparat militer sebagai dalang kericuhan. Buntut pernyataannya itu, Ferry sempat akan dipidanakan oleh Mabes TNI. Namun hal itu batal setelah kedua belah pihak sepakat berdamai.
Selain itu, Majalah Tempo dalam laporan utamanya pada edisi pekan lalu juga sempat mengungkap hasil investigasi tentang dugaan keterlibatan militer sebagai dalang kericuhan pada demo akhir Agustus 2025 di berbagai kota di Indonesia. (*)