KETIK, SLEMAN – Mantan Bupati Sleman dua periode, Sri Purnomo, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Persidangan yang berlangsung, Kamis, 18 Desember 2025 dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Melinda Aritonang didampingi Hakim Anggota Gabriel Siallagan dan Elias Hamonangan ini mengungkap tabir gelap di balik penggunaan dana Hibah Pariwisata 2020 senilai Rp68,5 miliar.
Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Rachma Ariyani Tuasikal, Shanty Elda Mayasari, dan Wiwik Trihatmini memaparkan bagaimana dana pemulihan ekonomi nasional tersebut justru diduga dijadikan alat barter politik untuk memenangkan istri terdakwa dalam Pilkada Sleman.
Instruksi Dana Nganggur di Rumah Dinas
Dalam surat dakwaannya, jaksa menyingkap sebuah percakapan krusial pada Agustus 2020 di rumah dinas Bupati Sleman yang menjadi titik awal penyimpangan. Sri Purnomo disebut menyampaikan pesan kepada Kuswanto selaku Ketua DPC PDIP Sleman saat itu bahwa terdapat dana hibah dari Kementerian Pariwisata RI yang sedang nganggur dan dapat digunakan untuk kepentingan pemenangan pasangan calon nomor urut 3, Kustini Sri Purnomo dan Danang Maharsa.
Kustini Sri Purnomo (kiri/jilbab pink) usai menyalami suaminya, terdakwa Sri Purnomo (pakai pecis) setelah menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Kehadiran Kustini SP menjadi sorotan karena namanya disebut dalam dakwaan jaksa sebagai pihak yang diuntungkan melalui pemenangan Pilkada. (Foto: Fajar Rianto/Ketik.com)
Instruksi ini kemudian ditindaklanjuti secara sistematis oleh putra kandung terdakwa, Raudi Akmal, yang saat itu menjabat sebagai Anggota DPRD Sleman. Raudi berperan sebagai arsitek di lapangan dengan mengintervensi pejabat Dinas Pariwisata, Nyoman Rai Savitri dan saksi Ali, agar tidak mensosialisasikan program hibah kepada Desa Wisata secara terbuka. Raudi menegaskan bahwa informasi hibah akan dikelola sendiri oleh jaringan tim suksesnya yang ia sebut sebagai anak-anak.
Intervensi Raudi Akmal dan Sandi Kode RA
Keterlibatan Raudi Akmal digambarkan sangat dominan melalui penggunaan kode RA pada proposal-proposal kelompok masyarakat yang masuk ke Dinas Pariwisata Sleman. Kode ini merupakan penanda khusus bagi 167 proposal yang sebelumnya dikumpulkan secara terpusat di rumah dinas bupati melalui Karunia Anas Hidayat.
Raudi Akmal secara intensif mengirimkan pembaruan data penerima melalui pesan WhatsApp dengan nama file seperti update 31-10-20 hingga update 02-11-20 guna memastikan kelompok pendukungnya masuk dalam daftar penerima dana swakelola. Selain itu, Raudi mengumpulkan para dukuh dari Kalurahan Pandowoharjo dan Trimulyo di Rumah Makan Bulak Senthe melalui saksi H Joko Triyono untuk menjanjikan kawalan dana hibah dengan imbalan dukungan suara pemilih.
Mobilisasi Massa Melalui Arif Kurniawan
Peran penting lainnya dijalankan oleh Arif Kurniawan yang menjabat sebagai Sekretaris DPD PAN Sleman kala itu. Arif Kurniawan bertindak sebagai eksekutor yang menjangkau langsung lima destinasi strategis di Sleman Barat, yakni Desa Wisata Sendang Penjalin, Mbrajan, Gamplong, Grogol, dan Cibuk Kidul. Dalam setiap pertemuan, Arif secara terbuka meminta timbal balik dari masyarakat agar memilih pasangan Kustini-Danang sebagai syarat mendapatkan kucuran dana.
Pola serupa juga dilakukan oleh Dodik Ariyanto dan Karunia Anas Hidayat yang menyisir wilayah Gamping, Mlati, Godean, Seyegan, Moyudan, dan Minggir untuk memastikan aliran dana 30 persen bagian pemerintah daerah terserap oleh jaringan relawan melalui proposal yang dikoordinasi secara sepihak.
Legalisasi Pelanggaran dan Kerugian Negara
Penyimpangan ini dilegalkan melalui penerbitan Peraturan Bupati Sleman Nomor 49 Tahun 2020 oleh Sri Purnomo yang isinya bertentangan dengan petunjuk teknis Kemenparekraf karena menciptakan kriteria baru. Akibatnya, dana negara sebesar Rp17,2 miliar mengalir ke kelompok masyarakat binaan tim sukses yang secara administratif tidak memenuhi syarat sebagai penerima hibah resmi.
Berdasarkan audit BPKP Perwakilan DIY, tindakan korporasi politik ini mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai Rp10.952.457.030. JPU menilai Sri Purnomo telah menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri dengan cara mengalihkan beban biaya kampanye keluarganya ke kas negara.
Atas perbuatannya, Sri Purnomo didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai dakwaan primer, serta dakwaan subsider Pasal 3 dan dakwaan kedua Pasal 22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dakwaan ini menggambarkan sebuah praktik nepotisme yang terorganisir, di mana instrumen kebijakan daerah digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dinasti politik melalui manipulasi dana bantuan sosial di tengah masa sulit pandemi.
Atas dakwaan JPU tersebut usai berdiskusi dengan Penasehat Hukumnya terdakwa Sri Purnomo menyatakan akan mengajukan eksepsi (nota keberatan) dalam agenda sidang berikutnya, Selasa 23 Desember 2025. (*)
