KETIK, SURABAYA – Menjelang akhir tahun, aktivitas belanja masyarakat cenderung meningkat tajam.
Diskon besar-besaran, bonus akhir tahun, hingga dorongan emosional untuk memberi hadiah kepada diri sendiri atau self reward membuat banyak orang melakukan pembelian impulsif.
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan konsumtif, melainkan berkaitan erat dengan faktor psikologis dan strategi pemasaran yang terencana.
1. Efek “Budget Reset” dan Keinginan Menutup Tahun dengan Reward
Akhir tahun kerap dianggap sebagai penutup satu siklus kehidupan. Secara psikologis, banyak konsumen merasa layak memberi penghargaan pada diri sendiri setelah melewati berbagai tantangan selama setahun penuh.
Kondisi ini dikenal sebagai Fresh Start Effect, yaitu dorongan untuk memulai babak baru dengan keputusan yang terasa “pantas” secara emosional, termasuk berbelanja.
Efek ini membuat konsumen lebih mudah tergoda dan tanpa sadar melakukan pembelian impulsif atau membeli barang yang sebelumnya ditunda.
Bagi brand, momen ini sering dimanfaatkan melalui strategi pemasaran yang mendorong keputusan cepat, seperti bundling bertema self-reward, produk edisi terbatas, hingga storytelling emosional.
Brand dengan strategi branding yang konsisten dinilai lebih mudah memenangkan perhatian konsumen di fase emosional ini.
2. Bonus Akhir Tahun dan Kondisi Keuangan yang Lebih Longgar
Faktor lain yang mendorong belanja impulsif adalah kondisi keuangan yang lebih longgar.
Banyak pekerja menerima bonus akhir tahun, THR Natal, atau insentif perusahaan, sehingga toleransi terhadap pengeluaran meningkat.
Konsumen menjadi lebih berani membeli barang dengan harga lebih tinggi yang sebelumnya dianggap bisa ditunda.
Situasi ini membuat kuartal keempat (Q4) kerap menjadi periode dengan penjualan tertinggi.
Sejumlah brand memanfaatkan kondisi ini dengan menggunakan sistem pre-order produk baru, peluncuran produk eksklusif, hingga penawaran bundel bernilai tinggi.
3. Promo Besar dan Perilaku Fear of Missing Out (FOMO)
Akhir tahun juga identik dengan rangkaian promo besar, seperti event 12.12, Diskon Natal, hingga End Year Sale.
Ketika hampir semua platform menghadirkan diskon, konsumen mengalami collective FOMO atau rasa takut ketinggalan.
Akibatnya, keputusan belanja sering diambil dengan cepat karena khawatir harga naik kembali, stok habis, atau promo tidak terulang.
Dalam kondisi ini, proses pertimbangan yang dilakukan konsumen berkurang.
Karena itu, para pengamat pemasaran menilai promo yang efektif seharusnya tidak hanya mengandalkan diskon, tetapi juga didukung oleh strategi branding yang kuat agar tidak sekadar memicu perang harga.
Dampak Belanja Impulsif Akhir Tahun
Meski memberi kepuasan sesaat, belanja impulsif dapat berdampak negatif jika tidak terkendali.
Dampaknya antara lain pengeluaran melebihi anggaran, menurunnya kondisi keuangan di awal tahun, hingga munculnya stres finansial akibat tagihan yang menumpuk.
Dalam jangka panjang, kebiasaan ini juga dapat mengganggu perencanaan keuangan pribadi.
Cara Mengatasi Belanja Impulsif
Agar tidak terjebak dalam euforia akhir tahun, konsumen harus menetapkan anggaran belanja secara jelas, membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta memberi jeda waktu sebelum melakukan checkout.
Membuat daftar belanja dan membatasi dalam mengakses promo yang tidak relevan juga dapat membantu mengurangi pembelian impulsif.
Fenomena belanja impulsif akhir tahun menjadi wujud nyata interaksi berkesinambungan antara psikologi konsumen dan strategi pemasaran.
Dengan kesadaran dan perencanaan yang tepat, momen akhir tahun dapat tetap dinikmati tanpa harus mengorbankan stabilitas finansial di awal tahun berikutnya.(*)
