KETIK, SURABAYA – Satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari perayaan malam tahun baru adalah pesta kembang api.
Hampir di seluruh belahan dunia, tradisi menyalakan kembang api untuk merayakan pergantian tahun baru ini dilakukan.
Orang-orang akan merayakan pergantian tahun dengan berkumpul bersama keluarga ditemani oleh suara dan cahaya kembang api yang menambah kesan meriah. Kembang api kerap dinyalakan ketika perayaan perayaan tertentu untuk membuat suasana semakin meriah.
Pesta kembang api pertama kali dilakukan pada tahun 1486 ketika Raja Henry VII dan isterinya, Elizabeth of York menikah. Kemudian pada tahun 1777, melalui pidatonya presiden kedua Amerika Serikat John Adams meminta masyarakat Amerika untuk menyalakan kembang api ketika memperingati hari kemerdekaan negara mereka. Ia ingin peringatan hari kemerdekaan negara mereka dirayakan dengan meriah dan megah.
Maka tepat pada 4 Juli 1777 cahaya kembang api memenuhi langit kota Philadelphia dan sejak hari itu warga Amerika menggunakan kembang api untuk merayakan berbagai perayaan. Seiring berjalannya zaman, tradisi ini akhirnya menyebar ke berbagai wilayah, tidak terkecuali Indonesia.
Namun di balik meriah dan serunya pesta kembang api, penggunaannya menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Hal ini dikarenakan proses pembuatan kembang api membutuhkan unsur logam seperti strontium, calsium, atau magnesium. Unsur unsur tersebut jika digunakan secara berlebihan dapat mencemari udara serta air.
Tidak hanya itu, kembang api juga mengandung zat kimia yang bisa menghasilkan ribuan ton partikel halus yang biasa disebut PM (Particulate Matter) 10. Partikel tersebut termasuk jenis polutan yang berbahaya karena dapat mengganggu sistem pernafasan manusia maupun hewan.
Pada akhirnya, tradisi menyalakan kembang api pada malam pergantian tahun memang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah panjang yang menjadikannya simbol kemeriahan.
Kembang api telah menjadi lambang sukacita setiap kali umat manusia memasuki momen penuh harapan. Namun di balik keindahan cahaya yang memenuhi langit malam, penting bagi kita untuk tetap menyadari risiko lingkungan yang ditimbulkannya.
Dengan penggunaan yang bijak dan tidak berlebihan, tradisi turun-temurun ini tetap dapat dinikmati tanpa mengabaikan tanggung jawab untuk menjaga bumi. Semangat perayaan pun tetap hidup, selaras dengan harapan baru yang selalu datang setiap pergantian tahun. (*)
