KETIK, SURABAYA – Pada demonstrasi di beberapa titik di wilayah Indonesia, massa menggunakan kembang api, melempar batu hingga bom molotov ke arah aparat.
Bom molotov, yang identik dengan sebotol kaca berisi bahan bakar dan sumbu api, telah menjadi simbol perlawanan rakyat sejak pertama kali digunakan di medan perang.
Meski bentuknya sederhana, senjata ini terus hadir dalam berbagai konflik dari abad ke-20 hingga sekarang.
Sejarah
Konsep dasar bom molotov sudah dikenal sejak Perang Saudara Spanyol di 1936-1939. Pejuang Republik saat itu memanfaatkannya untuk menyerang tank-tank musuh. Senjata ini mudah dibuat, murah, dan efektif melawan kendaraan lapis baja.
Dikutip dari berbagai sumber istilah “Molotov Cocktail” baru populer pada Perang Musim Dingin (Winter War) 1939-1940, saat Finlandia berperang melawan Uni Soviet.
Menteri Luar Negeri Soviet, Vyacheslav Molotov, menyebut bom cluster yang dijatuhkan ke Finlandia sebagai “paket makanan” untuk rakyat.
Sebagai ejekan, rakyat Finlandia menamai bom botol pembakar mereka sebagai “koktail Molotov”, atau “minuman pelengkap untuk paket makanan” itu.
Pemerintah Finlandia bahkan memproduksi ratusan ribu bom molotov secara massal untuk menghadapi tank-tank Soviet.
Senjata Perlawanan di Seluruh Dunia
Sejak itu, bom molotov menjadi senjata rakyat dalam melawan pasukan bersenjata.
• Perang Dunia II digunakan di banyak negara, bahkan diproduksi massal dan distandarisasi seperti Frangible Grenade M1 di Amerika Serikat.
• Revolusi Hungaria 1956 warga Budapest berhasil melumpuhkan banyak tank Soviet dengan bom molotov.
• Konflik Modern – dari protes Euromaidan di Ukraina hingga perang kota di Timur Tengah, bom molotov masih menjadi alat perlawanan paling mudah dibuat.
Di Indonesia, bom molotov juga tercatat dalam sejarah. Pada masa Revolusi (1945-1949), akademisi UGM Herman Johannes memimpin pembuatan bom molotov untuk melawan Belanda.
Rakyat turut menyumbang botol bekas sehingga ratusan bom bisa diproduksi setiap hari. Namun, bom molotov juga pernah digunakan untuk aksi teror.
Kasus paling tragis terjadi di Samarinda tahun 2016, ketika bom molotov dilempar ke sebuah gereja dan menewaskan seorang balita.
Bom molotov bukan sekadar senjata. Ia menjadi simbol kreativitas rakyat yang melawan kekuatan militer yang jauh lebih besar. Meskipun kecil, ia meninggalkan jejak besar dalam sejarah perlawanan dunia. (*)