Satu Suro, Ini Tradisi Orang Jawa Menurut Sekretaris FPK Jember

26 Juni 2025 23:00 26 Jun 2025 23:00

Thumbnail Satu Suro, Ini Tradisi Orang Jawa Menurut Sekretaris FPK Jember
Sebagian warga Jawa yang menggelar acara khusus menyambut Satu Suro. (Foto: Dokumentasi/Kurniawan/Ketik)

KETIK, JEMBER – Satu suro atau hari pertama pada penanggalan Jawa, jatuh di hari Jumat 27 Juni 2025, bersamaan dengan 1 Muharram 1447 Hijriah atau tahun Jawa 1959. Momen ini diperingati secara khusus oleh masyarakat Jawa karena sarat akan nilai sejarah, spiritualitas, dan filosofi hidup.

Seperti yang diterangkan Sekretaris Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kabupaten Jember, Miftahul Rachman. Satu Suro adalah awal tahun dalam kalender Jawa yang diselaraskan dengan kalender Hijriah. 

Hal ini merujuk pada perjalanan spiritual yang dilakukan oleh para raja Jawa terdahulu, terutama Sultan Agung Hanyokrokusumo, yang menggabungkan kalender Islam dengan sistem penanggalan Jawa sebagai bentuk integrasi antara budaya santri dan abangan.

"Ada pula pendapat yang menyebut penyesuaian kalender ini dimulai pada era Sunan Giri II, masa Kerajaan Demak. Meski berbeda pendapat soal sejarah awalnya, keduanya sepakat bahwa penetapan ini bertujuan menyatukan nilai religius dan kultural masyarakat Jawa," ujar pria yang juga akrab disapa Cak Memet itu saat dikonfirmasi sejumlah wartawan, Kamis, 26 Juni 2025

Mengapa Satu Suro Istimewa? Cak Memet menjelaskan, selain menjadi Tahun Baru Jawa dan Islam, Satu Suro juga dikenal sebagai bulan prihatin. 

"Hal ini dilatarbelakangi oleh peristiwa sejarah Islam, yakni terbunuhnya cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain, di Padang Karbala pada 10 Muharram. Tragedi tersebut menimbulkan duka mendalam bagi umat Islam, termasuk masyarakat Jawa yang turut mengambil pelajaran spiritual dari kisah tersebut," jelasnya.

Lebih lanjut Cak Memet menjelaskan, bagi masyarakat Jawa, Satu Suro bukanlah momen pesta, melainkan waktu untuk ritual hening, laku tirakat, dan instrospeksi diri. 

"Pada bulan ini, masyarakat diimbau untuk menghindari kegiatan hura-hura seperti pernikahan, hajatan besar, atau pesta pora. Bulan Suro adalah waktu untuk menenangkan jiwa, menghindari kemewahan, dan memperbanyak doa serta kontemplasi," ulasnya. 

"Bahkan dalam tradisi masyarakat Jawa, ada kepercayaan bahwa jika seseorang memaksakan hajatan besar seperti menikah di bulan Suro, bisa mendatangkan petaka," sambungnya.

Menurut Miftahul, kepercayaan ini bukan untuk menakuti, melainkan bentuk kearifan lokal agar masyarakat hidup lebih seimbang dan sadar terhadap momentum spiritual.

Cara Memaknainya, lebih lanjut kata Cak Memet, Masyarakat Jawa biasanya mengisi bulan Suro dengan berbagai kegiatan.

"Diantaranya laku prihatin, seperti tirakat, kungkum (berendam di sungai), tapa bisu (berdiam diri), hingga ziarah kubur. Kegiatan ini dilakukan bukan sekadar tradisi, melainkan sebagai bentuk penguatan spiritual, introspeksi, dan mendekatkan diri kepada Tuhan," jelasnya.

"Satu Suro adalah waktu yang sakral. Ini saatnya menyelaraskan batin, membersihkan hati, dan mempererat hubungan dengan leluhur serta Sang Pencipta," tambah Cak Memet.

Ia menyimpulkan, Satu Suro bagi masyarakat Jawa bukan hanya penanda awal tahun, tetapi juga momen hening yang sarat makna spiritual. 

"Dalam keheningan dan prihatin, orang Jawa mewariskan pesan bijak untuk menyambut tahun baru dengan hati bersih, pikiran jernih, dan langkah hidup yang lebih bermakna," tandasnya.

Tombol Google News

Tags:

Jember Satu Suro Tradisi Jawa RITUAL Forum Pembauran Kebangsaan FPK Cak Memet Miftahul Rachman hijriah